Kabarminang – Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD, mengungkap fakta mencengangkan terkait besarnya pendapatan pejabat negara yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menyebut praktik tersebut sebagai hal yang “menggilakan” dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Dalam pernyataan yang disampaikan di kanal YouTube Metro TV, Mahfud menyoroti ketimpangan antara gaji resmi seorang pejabat eselon I dan penghasilan tambahan yang diperoleh dari kursi komisaris.
“Gajinya sendiri dia tidak sampai Rp50 juta. Tapi uangnya sebagai komisaris bisa sampai Rp1,9 miliar satu bulan,” ujar Mahfud dalam video yang diunggah sejak 25 Maret 2025 dan telah ditonton lebih dari 63 ribu kali hingga Jumat (13/6/2025).
Mahfud menilai, fenomena rangkap jabatan tersebut bukan hanya persoalan etika, tapi juga potensi konflik kepentingan. Ia mempertanyakan urgensi pejabat publik aktif yang duduk di perusahaan milik negara dan menerima insentif sangat besar dari pos ganda tersebut.
“Itu lebih menggilakan lagi. Banyak pejabat setingkat Dirjen yang merangkap sebagai komisaris di BUMN. Ini perlu dibenahi,” tegasnya.
Mahfud juga mengingatkan bahwa gaji dan tunjangan resmi pejabat negara sebenarnya sudah sangat mencukupi jika dikelola dengan baik. Ia mencontohkan pengalamannya selama menjabat sebagai menteri dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang penghasilannya bisa mencapai miliaran rupiah dalam satu periode jabatan, tanpa perlu rangkap jabatan.
“Saya 20 tahun lebih menjabat dan kalau disimpan baik, bisa lebih dari Rp30 miliar. Jadi yang masih korupsi itu, ya gila,” ucapnya.
Pernyataan ini menjadi sorotan publik di tengah meningkatnya tuntutan terhadap transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi pengelolaan BUMN. Sejumlah pihak menilai bahwa rangkap jabatan antara pejabat publik dan komisaris berpotensi melemahkan pengawasan serta menciptakan ketidakadilan struktural dalam sistem birokrasi.
Sejauh ini, pemerintah belum memberikan tanggapan resmi atas pernyataan Mahfud. Namun, desakan publik untuk merevisi aturan rangkap jabatan pejabat negara terus menguat, seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap etika pengelolaan keuangan negara dan reformasi birokrasi.