Kabarminang.com – Mulai 1 Januari 2025 pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Adapun Jasa Sistem Pembayaran masuk ke dalam objek dan beredar isu di masyarakat bahwa transaksi uang elektronik menjadi objek pajak yang dikenakan tarif.
Tak sedikit warganet di media sosial yang khawatir transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) hingga e-Money juga akan terdampak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Mayarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Dwi Astuti memastikan transksi elektronik bukan objek pajak baru. Sebab, itu sudah diatur dalam Undang-undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 silam.
“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984. Artinya bukan objek pajak baru,” kata Dwi Astuti dikutip dari Antara, Minggu (22/12).
UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN.
Artinya, kata dia, ketika PPN naik menjadi 12 persen nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik. Aturan rinci mengenai pengenaan PPN transaksi elektronik secara umum, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.
Layanan yang dikenakan PPN di antaranya uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet). Selanjutnya, gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.