Kabarminang – Keputusan Polres Padang Pariaman untuk tidak menahan tersangka kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur menuai kritik tajam dari sejumlah pihak.
Masyarakat mempertanyakan kebijakan yang dianggap tidak mencerminkan keberpihakan terhadap korban, apalagi kasus ini menyangkut kejahatan serius terhadap anak.
Pakar hukum dari Padang Pariaman dan Kota Pariaman, Alwis Ilyas, menjelaskan bahwa dalam sistem hukum pidana, penahanan adalah tindakan pro justitia yang harus memenuhi syarat ketat. Namun ia menekankan, kasus dengan ancaman pidana di atas lima tahun, seperti pencabulan terhadap anak, pada dasarnya memang layak untuk ditahan.
“Boleh saja tersangka tidak ditahan, sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi: tidak melarikan diri, tidak mengulangi perbuatan, dan tidak menghilangkan barang bukti. Tapi penegak hukum harus sangat berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini. Jangan sampai menimbulkan kesan bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” ujar Alwis, Senin (12/5).
Sorotan juga datang dari Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Sumatera Barat, Rahmi Meri Yenti. Ia menilai keputusan tersebut sangat disayangkan dan mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, khususnya anak.
“Ketika tersangka kekerasan seksual terhadap anak tidak ditahan, negara telah gagal memberi rasa aman kepada korban. Ini bukan sekadar masalah prosedur hukum, tapi soal keberpihakan pada korban dan pemenuhan hak-hak mereka,” tegas Rahmi.
Menurutnya, dalam banyak kasus, korban anak merasa takut, trauma, bahkan enggan bersuara ketika pelaku masih bebas. Hal ini juga bisa berpengaruh terhadap kelancaran proses hukum.
“Tersangka yang masih bebas membuka ruang intimidasi langsung maupun tidak langsung. Ini bentuk ketidakadilan struktural yang terus kami lawan,” ujarnya.
Rahmi juga menekankan pentingnya perspektif gender dan perlindungan anak dalam proses hukum.
“Kami berharap aparat kepolisian di Padang Pariaman mengevaluasi kebijakan ini dan mulai memprioritaskan keselamatan serta pemulihan korban, bukan hanya sekadar memenuhi prosedur formal,” tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, seorang tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap remaja berkebutuhan khusus dilepaskan hanya dua jam setelah dijemput polisi. Samsul (56), paman dari korban, kecewa tersangka pelaku berinisial SA alias BY, mantan Kepala Desa Tapakih Selatan, tersebut dilepaskan.
“Jam 6 sore 2 Maret 2025 dia dijemput polisi. Tapi, jam 8 malam dia dilepas lagi. Polisi bilang pelaku tidak mengakui perbuatannya dan katanya alat kelamin pelaku tidak hidup,” ujar Samsul di rumah korban di Korong Lubuak Aro, Nagari Tapakih, Kecamatan Ulakan Tapakih, Padang Pariaman.
Kasus itu dilaporkan ke Polres Padang Pariaman pada 13 Desember 2024. Korban, remaja perempuan berusia 17 tahun yang mengalami keterbelakangan mental dan hanya bersekolah hingga kelas tiga SD, diduga telah lima kali dicabuli oleh tersangka di dalam kamar rumah korban.
“Setiap kali kejadian, ibunya lagi di ladang. Dia tinggal sendiri di rumah. Terlapor sering masuk ke rumah. Berdasarkan pengakuan korban, terlapor ini sudah lima kali mencabuli korban,” ujar Samsul.
Samsul mengatakan bahwa pihaknya telah menerima SP2P (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) dari Polres Padang Pariaman, yang menyebutkan bahwa kasus tersebut telah dilimpahkan ke kejaksaan atas nama tersangka SA.
Meskipun sudah jadi tersangka, SA masih bebas karena penahanannya ditangguhkan.