Kabarminang.com – Lembaga Women Crisis Centre (WCC) Nurani Perempuan Sumatera Barat (Sumbar) mendesak penegak hukum menuntaskan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan hingga ke persidangan. WCC Nurani Perempuan Sumbar tak setuju kasus kekerasan seksual itu berhenti pada tahap mediasi atau damai melalui restorative justice (RJ).
Direktur Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yenti mengatakan bahwa saat ini sejumlah kasus kekerasan seksual sedang bergulir di sejumlah daerah di Sumbar, diantaranya di Solok Selatan, Kepulauan Mentawai, dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Ia mewanti-wanti tak menggunakan pendekatan RJ di kasus tersebut.
Rahmi menilai penggunaan sistem RJ pada kasus kekerasan seksual justru merugikan korban, terutama perempuan dan anak yang menjadi penyintas kekerasan seksual.
“Kami sangat tidak setuju dengan sistem RJ, karena ketika kasus didamaikan atau dimediasi, seringkali pemulihan korban terabaikan. Korban tetap terdampak secara kesehatan mental, trauma berkepanjangan, sementara penyelesaian damai justru lebih menguntungkan pelaku,” kata Rahmi saat berorasi pada peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) di kawasan Car Free Day (CFD) Kota Padang, Minggu (8/12).
Terkait implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Rahmi menyampaikan bahwa sejak disahkan pada 2022, penggunaan UU ini masih mengalami banyak kendala.
“Sejauh ini, implementasi UU TPKS memang sudah mulai terlihat di kepolisian di beberapa kabupaten/kota. Namun, ketika masuk ke pengadilan, UU TPKS seringkali tidak digunakan. Hakim masih enggan menerapkan UU ini dan kembali menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk kasus anak atau Undang-Undang ITE untuk kasus kekerasan berbasis online,” jelas Rahmi.
Ia menambahkan, lambatnya implementasi UU TPKS ini juga dipengaruhi oleh minimnya sosialisasi dan belum lengkapnya peraturan turunan. Dari tujuh peraturan turunan yang seharusnya mendukung UU TPKS, hingga kini baru tiga yang selesai disahkan.