Keesokan harinya, Selasa (7/1), kata RJ, anaknya menangis dan menjerit kesakitan saat buang air kecil. Ia lalu membawa anaknya ke puskesmas untuk memeriksakan kondisi anaknya. Bidan di puskesmas itu hanya memberi RJ obat pereda nyeri untuk HZ. Bidan tersebut mengaku tidak punya keahlian untuk memeriksa masalah yang diadukan RJ. Bidan itu menyarankan RJ untuk memeriksakan HZ ke dokter kandungan, tetapi RJ tidak membawa HZ ke dokter karena tidak punya uang.
Pada hari itu anggota keluarga TI bertanya kepada TI tentang dugaan pencabulan itu karena sebelumnya RJ menceritakan hal tersebut kepada anak dari adik TI. RJ menceritakan bahwa TI membantah melakukan itu dan meminta bukti atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Pada Rabu (8/1) RJ ditelpon oleh wali korong untuk memintanya datang ke puskesmas guna membahas dugaan pencabulan yang dialami HZ. Berdasarkan hasil rapat tersebut, RJ disarankan untuk melaporkan hal itu ke kepolisian. Hari itu, dengan ditemani petugas puskesmas, babinsa, dan bhabinkamtibmas, RJ melaporkan TI ke Polresta Padang Pariaman. Polres Padang Pariaman menerima laporannya dengan laporan polisi nomor LP/B/7/1/2025/SPKT/PolresPadangPariaman/Polda Sumbar tanggal 8 Januari 2025 pukul 15.32 WIB.
“Pada Kamis (9/1) saya didampingi polisi dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak membawa anak saya ke RSUD Kota Pariaman untuk divisum. Di sana anak saya diperiksa oleh tiga dokter kandungan. Kata dokter, selaput dara anak saya robek. Ada lima luka robeknya,” tuturnya.