Kepala Divisi Kampanye LBH Padang, Calvin Nanda Permana, menilai perizinan PLTP Tandikek–Singgalang bermasalah sejak awal. Menurutnya, Kementerian ESDM hanya memberikan izin Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan Eksplorasi (WPSPE) pada 2013.
“Artinya, izin eksplorasi itu sudah tidak berlaku lagi. Selain itu, sampai sekarang tidak ada penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2014. Jadi, secara hukum, proyek ini tidak punya dasar yang sah,” tegas Calvin.
Ia juga menyoroti keterlibatan masyarakat yang minim. Menurutnya, warga hanya dilibatkan secara formalitas tanpa diberikan ruang partisipasi bermakna untuk menentukan sikap.
PBHI Sumbar, Igo Marseleno, mengatakan proyek geothermal di sejumlah daerah memicu konflik berkepanjangan. Beberapa di antaranya terjadi di Manggarai Barat (2016), Solok (2018), Maluku (2022), hingga Manggarai (2023).
“Pandai Sikek tidak boleh menjadi korban berikutnya. Negara wajib melindungi hak ulayat dan keberlanjutan hidup masyarakat adat,” tegasnya.
Sementara itu, KIPP Sumbar, Imron, menyebut penolakan warga Pandai Sikek memiliki dasar konstitusi yang kuat. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini juga diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025.
Pertemuan BPRN bersama organisasi masyarakat sipil menyepakati langkah mengawal aspirasi warga Pandai Sikek hingga tingkat daerah dan pusat. Mereka menekankan pembangunan energi terbarukan penting, tetapi tidak boleh mengorbankan hak masyarakat adat, lahan ulayat, dan pertanian produktif.