Sumbarkita – Hukuman mati dijatuhkan. Nama Nia Kurnia Sari, gadis penjual gorengan, telah menjadi simbol duka. Namun di balik gegap gempita putusan, muncul pertanyaan yang menggigit: benarkah keadilan ditegakkan, atau sekadar ditebak-tebak?
Kuasa hukum terdakwa Indra Septiarman alias In Dragon menilai vonis tersebut lahir dari konstruksi hukum yang dibangun lebih banyak dari asumsi dan simbol, bukan dari fakta medis maupun logika forensik.
Tali Rafia Jadi Penentu
Satu benda sederhana, tali rafia, menjadi penanda rencana pembunuhan yang disebut “keji” oleh jaksa. Namun hasil visum menyebut korban meninggal bukan karena jeratan tali, melainkan akibat tekanan kuat di dada dan hambatan pernapasan. Temuan ini, menurut kuasa hukum, lebih sesuai dengan tindakan spontan atau panik, bukan eksekusi terencana.
“Kami kecewa dan prihatin. Bagaimana mungkin seseorang dijatuhi hukuman mati karena tali rafia? Ini bukan alat pembunuh utama. Ini hanya luka ikat. Tapi entah bagaimana, tali itu menjelma jadi bukti paling menentukan nasib hidup dan mati seseorang,” kata Dafriyon, kuasa hukum In Dragon, kepada Kabarminang, Rabu (6/8).
Persoalan Pasal 340 KUHP
Menurutnya, jika pasal 340 KUHP diuji secara akademik, maka syarat perencanaan matang harus jelas: mulai dari niat, alat, waktu, hingga tindakan sadar dan terkontrol. “Konstruksi itu tidak tampak di sini. Tapi tetap dipaksakan,” ujarnya.
Ia menilai tali rafia sebagai alat bukti perencanaan justru membuka ruang tafsir berbahaya. “Kalau kita jadikan tali rafia sebagai bukti rencana pembunuhan, lalu apa bedanya dengan kasus perkelahian spontan? Besok-besok, orang bisa dihukum mati hanya karena membawa benda kecil yang tersedia di mana-mana,” jelasnya.
Dafriyon juga menyoroti ketiadaan saksi ahli forensik dalam pembuktian di persidangan. “Kalau benar dia berniat membunuh dengan tali itu, kenapa hasil visum tidak mendukung? Kenapa penyebab kematian bukan karena jeratan? Ini sangat fundamental,” katanya.
Menurutnya, jika jaksa dan hakim benar-benar objektif, perkara ini semestinya diarahkan ke pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) atau bahkan pasal 351 ayat 3 (penganiayaan yang menyebabkan kematian), bukan pasal 340 KUHP yang membawa konsekuensi nyawa manusia.
Keadilan vs. Pelampiasan
Perkara In Dragon telah menyita emosi publik. Namun dalam ruang sidang, emosi tak boleh menggantikan fakta. “Kami sangat menghormati rasa kehilangan keluarga korban. Tapi keadilan sejati tidak boleh dibangun dari asumsi dan simbol,” ujar Dafriyon.
Kini, dengan napas yang kian pendek dalam sel tahanan, In Dragon menanti banding. Kuasa hukum tengah menyusun memori perlawanan terhadap vonis mati. Di luar ruang sidang, publik dihadapkan pada tugas yang lebih besar: membedakan antara keadilan dan pelampiasan.