Kakak korban, kata Idris, menceritakan pengakuan korban kepada ibu mereka, tetapi sang ibu tidak percaya bahwa suaminya melakukan hal itu. Karena tidak percaya, kata Idris, ibu korban tidak mau melaporkan suaminya ke kepolisian. Karena itulah, katanya, yang melapor ke kepolisian ialah kakak perempuan korban.
“Kakak korban melapor ke Polres Bukittinggi pada April 2025. Pada 14 April polisi membawa korban ke RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi untuk divisum. Dari hasil visum diketahui bahwa alat kelamin korban luka dan rusak. Tapi, ibu korban menyangkal bahwa alat kelamin korban rusak karena disetubuhi pelaku. Menurut ibu korban, luka dalam alat kelamin korban merupakan luka lama, ketika korban kecil,” tutur Idris.
Setelah melakukan serangkaian penyelidikan dan mengumpulkan alat bukti, kata Idris, pihaknya memanggil NA sebagai saksi kasus persetubuhan terhadap anak tiri itu pada 21 Juli 2025. Setelah memeriksa NA, pihaknya menetapkan NA sebagai tersangka penyetubuh anak di bawah umur dan menahannya di Kantor Polres Bukittinggi. Pihaknya menjerat tersangka dengan Pasal 81 juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun.
Bagaimana nasib korban sekarang? Idris menginformasikan bahwa setelah kasus dugaan persetubuhan itu mencuat, korban dibawa oleh ayah kandungnya untuk tinggal di kampung ayahnya bersama keluarga ayahnya. Ia mengatakan bahwa korban berhenti sebagai santriwati di pesantren karena malu cerita dugaan persetubuhannya diketahui oleh teman-temannya. Sementara itu, kata Idris, ibu kandung korban dan ayah tiri korban tidak bercerai. Ia menyebut bahwa ibu korban cenderung membela tersangka dan mengatakan bahwa tersangka tidak mungkin melakukan hal itu.