Setiap motor mogok di tengah jalan, ia tahu tak ada bengkel dekat. Kalau beruntung, ada warga lewat yang memberi tumpangan. Kalau tidak, ia berjalan. Sendiri. Dengan buku pelajaran di tas dan harapan di dada.
Meski lelah tak terelakkan, ia tak pernah absen dari kelas. Murid-muridnya adalah alasannya untuk terus berdiri.
“Mereka menunggu saya. Kalau saya menyerah, siapa yang akan ajari mereka tentang iman dan akhlak?”
Saat ditanya apa yang paling ia harapkan, Mairiyan hanya menunduk. Hening sejenak. Lalu dengan suara pelan, ia berkata, “Saya cuma ingin kesempatan. Supaya bisa lulus PPPK. Supaya bisa mengajar dengan tenang. Supaya perjuangan ini tak sia-sia.”
Di balik kerudungnya yang basah oleh peluh dan debu jalan, Mairiyan menyimpan semangat yang tak bisa ditakar. Ia bukan hanya guru, tapi penjaga harapan di ujung pelosok negeri. Di tengah jalan yang licin dan dunia yang tak selalu adil, ia tetap melangkah.
Karena bagi Mairiyan, pengabdian bukan sekadar datang ke sekolah. Tapi tentang bagaimana tetap berdiri ketika semua alasan untuk menyerah sudah hadir di depan mata.