Kabarminang – Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya bangkit dari balik perbukitan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman, seorang perempuan sederhana sudah bersiap dengan helm lusuh dan sepatu penuh lumpur.
Di atas motornya yang renta, ia menembus dinginnya udara, melewati jalan kerikil dan tanah merah yang tak pernah, benar-benar ramah. Namanya Mairiyan Yuliarti, S.Pd.I, seorang guru agama honorer yang tengah memperjuangkan harapan hidup dan martabat profesi.
Tak ada gemuruh tepuk tangan atau apresiasi untuk langkahnya. Hanya suara ranting patah dan gemuruh mesin tua yang menemaninya sepanjang perjalanan menuju SDN 11 Padang Sago, sekolah tempat ia kini mengabdi. Delapan kilometer dari rumah, dengan hanya tiga kilometer jalan yang beraspal, sisanya adalah ujian keteguhan hati.
“Kalau hujan, saya harus ekstra hati-hati. Jalan bisa licin sekali. Kadang babi hutan lewat, kadang juga ular besar. Sudah pernah saya temui sendiri,” katanya lirih, sembari menatap ke kejauhan, seolah ingat betapa seringnya ia menahan napas dalam ketakutan di tengah heningnya jalan.
Sebelumnya, ia mengajar di SDN 07 Padang Sago, hanya 500 meter dari rumah. Namun impiannya menjadi ASN melalui jalur PPPK tak semudah yang dibayangkan. Ia gagal dalam tes PPPK 2022 karena formasi yang tak sesuai. Ia lulusan Pendidikan Agama Islam, tapi selama bertahun-tahun mengajar sebagai guru olahraga.
“Saya harus mencari sekolah yang benar-benar butuh guru agama, biar bisa ikut tes dengan formasi yang sesuai. Akhirnya saya pindah ke SDN 11 ini. Meski jauh dan berat, saya harus kuat,” ujarnya dengan senyum yang nyaris tak sempat mekar.
Sudah lebih dari 11 tahun ia menjadi guru honorer. Dua kali mencoba peruntungan di PPPK, dua kali pula ia menerima surat yang isinya seperti menampar harapan. Satu per satu teman seangkatannya lulus, mengabari dengan ucapan syukur dan tangis bahagia. Sementara ia? Ia kembali menyambut pagi yang sama: dingin, sunyi, dan penuh pertanyaan.
“Gimana nggak sedih? Usaha sudah, doa sudah, tapi belum juga rezeki. Kadang saya bertanya dalam hati, masih kurang apa perjuangan ini?” katanya dengan suara parau, mencoba menahan air mata yang mulai memantul di sudut matanya.
Ia tak hanya mengajar, ia berjuang. Bukan sekadar tentang gaji atau status, tapi tentang harga diri sebagai pendidik yang tak pernah menyerah, meski berkali-kali dikecewakan oleh sistem.