“Sampai syarat-syarat penggunaan TKA terpenuhi, sebaiknya perusahaan dibekukan. Orang asingnya deportasi dulu. Itu sesuai dengan semangat Undang-Undang Ketenagakerjaan,” ucapnya.
Ia juga menyoroti lemahnya koordinasi antarlembaga dalam menegakkan aturan. Menurutnya, perbedaan tafsir antara Imigrasi dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sumbar menjadi celah yang merugikan negara.
“Ini akibat tidak sinkronnya regulasi. Undang-undang dibuat jalan sendiri-sendiri. Imigrasi pegang visa, ketenagakerjaan bicara dokumen kerja. Akhirnya, pelanggaran dibiarkan,” ujar Khairani.
Khairani juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap model investasi asing, khususnya dari Tiongkok, yang sering kali membawa tenaga kerja sendiri tanpa mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja lokal.
“Ini kelemahan kita di tahap awal. MoU antara pemerintah daerah dan investor sering kali mencakup semuanya: modal, bahan, dan tenaga kerja. Jadi, pelanggaran ini terjadi dari hulu,” katanya.
Dikutip dari laman Imigrasi.go.id, visa kunjungan jenis C.18 hanya diperuntukkan bagi WNA yang ingin melakukan uji coba kemampuan, kunjungan keluarga, atau keperluan bisnis nonkomersial. Visa itu melarang pemegangnya menerima imbalan berupa upah atau bekerja untuk perusahaan di Indonesia.
Pelanggaran ketenagakerjaan oleh PT GMK
Sebelumnya, UPTD Pengawas Ketenagakerjaan Wilayah II Disnakertrans Sumbar menyatakan bahwa ke-13 WNA tersebut telah melanggar aturan ketenagakerjaan. Mereka ditemukan sedang melakukan aktivitas yang tergolong kerja, tetapi tanpa dokumen kerja yang sah.
Kepala Seksi Penegakan Hukum Disnakertrans, Handra Pramana, menyebut bahwa para WNA itu tidak memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing, dana kompensasi penggunaan TKA, kontrak kerja, BPJS Ketenagakerjaan, pendamping dari pekerja lokal.