Kini, tragedi terulang. S kembali hamil—usia kandungan sudah tujuh bulan. Lagi-lagi, tak ada yang tahu siapa pelakunya.
Stigma dan Tekanan Sosial
Alih-alih mendapat simpati, keluarga ini justru menuai stigma. Sebagian warga menjuluki S sebagai “pembawa sial”. Ada pula yang mendesak agar mereka angkat kaki dari kampung itu.
“Sedih rasanya. Sudah susah, malah dipandang hina,” ucap Rina, menahan tangis.
Di antara banyak yang menjauh, hanya segelintir yang peduli. Salah satunya Desi, tetangga yang mengenal keluarga ini sejak lama. “Saya bantu semampu saya—makanan, vitamin, antar ke Puskesmas. Saya kira setelah KB dia tidak hamil lagi. Ternyata sekarang malah sudah tujuh bulan,” ungkapnya.
Negara Mulai Bergerak
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga pihak berwenang. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Padang Pariaman telah menerima laporan. Beberapa nama disebut sebagai terduga pelaku kekerasan terhadap S, baik pada kehamilan pertama maupun kedua.
Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman juga mulai turun tangan. Pendampingan medis dan sosial dijanjikan, termasuk upaya mengurus dokumen administrasi agar keluarga ini mendapat hak sebagai warga negara.
Potret Kelam yang Menggugah Pertanyaan
Kisah S bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah potret buram betapa rentannya mereka yang tak terdata, tak berdaya, dan tak terdampingi hukum. Mereka hidup di antara kita, namun “tidak pernah ada” di mata negara.
S kini menunggu hari kelahiran bayinya, tanpa tahu siapa ayahnya. Di rumah yang nyaris roboh, ia duduk termenung. “Kalau ada yang mau bantu, ya Alhamdulillah. Kami tak minta lebih,” ucap ibunya, lirih.
Di balik hening Nagari Sungai Buluah Barat, kisah pilu ini seakan menampar nurani: sampai kapan warga tak terlihat dibiarkan hidup dalam gelap?