Cerita semacam itu sudah terlalu sering terdengar di Salareh Aia. Namun setiap kisah baru membawa luka yang sama — dan harapan yang belum juga terjawab.
Antara Sejarah dan Ketertinggalan
Nagari Salareh Aia pernah menjadi simbol administrasi penting di masa pascakemerdekaan. Tapi seiring waktu, sejarah panjang itu tak diikuti dengan pemerataan pembangunan. Meski menjadi bagian dari agenda pembangunan daerah, realitas di lapangan masih jauh dari kata layak.
“Kalau hanya mengandalkan semangat warga, sampai kapan pun kami tidak akan sanggup memperbaiki jalan ini sendiri,” ujar Rijal.
Kini, warga hanya berharap suara mereka didengar. Mereka tak menuntut banyak — cukup jalan yang bisa dilalui tanpa harus kehilangan nyawa.
“Kami hanya ingin pemerintah turun tangan. Jangan tunggu ada korban lagi,” pinta Fajri, matanya berkaca-kaca.
Nyawa di Ujung Jalan
Di tengah lumpur dan genangan air, kehidupan di Salareh Aia terus berjalan. Anak-anak tetap pergi ke sekolah, petani tetap mengolah lahan, dan para ibu tetap membawa hasil panen dengan harapan kecil: bahwa suatu hari nanti, jalan ini akan benar-benar diperbaiki.
Karena di Nagari Salareh Aia, jalan bukan sekadar urusan infrastruktur. Ia adalah batas antara harapan dan kematian — antara hidup yang layak dan perjuangan yang terus berulang.














