Kabarminang – Kayu Pasak Timur, sebuah jorong di Nagari Salareh Aia, Kabupaten Agam, tampak lengang di siang hari. Suara langkah kaki dan roda gerobak terdengar lirih di antara becek dan lumpur yang menggenang di jalan utama. Di sinilah, di tengah hamparan tanah liat yang sulit dilalui kendaraan, cerita tentang perjuangan hidup dan kematian terus berulang.
Beberapa waktu lalu, duka kembali menyelimuti warga. Barun (65), seorang warga setempat, meninggal dunia sebelum sempat mendapat perawatan medis. Ia ditandu oleh keluarga dan tetangga melewati jalan berlumpur sejauh 10 kilometer menuju puskesmas terdekat. Namun, nyawanya tak tertolong.
“Sudah tujuh warga di sini yang meninggal dalam perjalanan karena akses jalan yang buruk. Ini bukan soal kenyamanan, tapi nyawa manusia,” ujar Fajri Rano, menantu almarhum, menahan getir.
Akses yang Mematikan
Nagari Salareh Aia bukanlah wilayah baru. Berdiri sejak 31 Mei 1946 berdasarkan Maklumat Residen Sumatera Barat Nomor 20 dan 21 Tahun 1946, nagari ini bahkan telah melahirkan dua pemekaran: Salareh Aia Utara pada 2016 dan Salareh Aia Timur. Namun, ironisnya, jalan menuju jantung nagari ini masih seperti jalur menuju masa lalu — sempit, rusak, dan berlumpur dalam.
Wali Nagari Salareh Aia, Rijal Islami, mengakui bahwa kondisi jalan di wilayahnya sudah lama menjadi masalah kronis.
“Jalan ini adalah satu-satunya akses utama sekitar 200 kepala keluarga di wilayah ini. Perbaikan jalan terhambat karena masuk kawasan hutan lindung,” ujarnya dengan nada cemas, Senin (20/10/2025).
Kawasan hutan lindung yang disebut Rijal membuat pembangunan infrastruktur dasar sering kali terbentur izin lintas instansi. Padahal, bagi masyarakat, jalan ini bukan sekadar penghubung, melainkan penentu keselamatan.
Di Antara Lumpur dan Harapan
Setiap kali hujan turun, tanah liat di sepanjang jalur utama berubah jadi kubangan. Anak-anak sekolah berjalan tanpa alas kaki, sementara ibu-ibu harus memikul hasil kebun di pundak agar bisa sampai ke pasar terdekat.
“Kadang kalau ada orang sakit, kami pakai tandu bambu. Kalau tidak kuat, kami gantian memanggul,” kata Fajri lirih.














