Kabarminang – Kasus dugaan kebutaan permanen yang dialami Hengki, warga Padang Pariaman, usai menjalani pencabutan gigi kini menjadi perhatian publik dan memasuki ranah hukum dan hak asasi manusia. Tak hanya menyoal kemungkinan malpraktik medis, kasus ini juga telah dilaporkan ke Komnas HAM dan Divisi Propam Polda Sumatera Barat oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang.
Menurut Firdaus Diezo, pengamat hukum kesehatan Sumatera Barat, kasus ini berpotensi masuk ranah pidana apabila terbukti ada hubungan langsung antara tindakan medis dan dampak kebutaan yang diderita korban.
“Jika ada bukti medis yang menunjukkan bahwa tindakan pencabutan gigi tersebut menyebabkan kebutaan, maka ini bisa dinilai sebagai kealpaan profesional. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan,” ujar Diezo saat dihubungi, Kamis (17/7/2025).
Ia merujuk pada Pasal 440 UU Kesehatan, yang menyebutkan sanksi pidana terhadap tenaga medis yang lalai. Jika kelalaian menyebabkan luka berat, pelaku dapat dikenai pidana penjara hingga tiga tahun atau denda maksimal Rp250 juta. Jika sampai menyebabkan kematian, ancamannya naik menjadi lima tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta.
Namun, lanjut Diezo, penilaian terhadap kealpaan tidak hanya didasarkan pada akibat medis, tetapi juga memerlukan pembuktian adanya dua unsur kunci: keterkaitan medis secara langsung serta penyimpangan dari standar operasional prosedur (SOP) dalam tindakan medis yang dilakukan.
“Tindakan medis memang memiliki risiko, tapi ketika risiko itu muncul karena prosedur tidak dijalankan sesuai standar, maka itu bisa menjadi dasar hukum untuk menuntut pertanggungjawaban pidana,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya audit medis secara independen terhadap kasus Hengki, termasuk memeriksa diagnosis awal, pelaksanaan tindakan medis, dan proses informed consent atau persetujuan tindakan medis dari pasien.