Kabarminang – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Sumatera Barat (Sumbar) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumbar melaporkan PT HSH, pemilik bangunan hotel di Lembah Anai, ke Polda Sumbar atas dugaan pelanggaran pidana lingkungan dan tata ruang. Organisasi itu melayangkan laporan tersebut karena belum ditindaklanjutinya sanksi administratif oleh PT HSH dan indikasi impunitas oleh pemerintah daerah.
Hal itu disampaikan Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Walhi Sumbar, Tommy Adam, Selasa (15/7). Menurutnya, kawasan Lembah Anai di Nagari Singgalang, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, merupakan wilayah dengan tingkat risiko bencana yang sangat tinggi. Berdasarkan data BPBD, potensi bencana di wilayah itu meliputi banjir, banjir bandang, tanah longsor, letusan gunung, gempa bumi, dan kebakaran hutan.
“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mewajibkan pemerintah memastikan setiap kebijakan pembangunan di kawasan rawan bencana harus mengutamakan keselamatan masyarakat,” kata Tommy.
Ia menyebut bahwa kawasan Lembah Anai mencakup berbagai zona perlindungan, seperti hutan lindung, taman wisata alam, cagar alam, sempadan sungai, badan air, dan kawasan jalan nasional Padang–Bukittinggi. Namun, katanya, kondisi di lapangan menunjukkan adanya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukan, termasuk pembangunan hotel, rest area, kolam pemandian, dan bangunan lainnya.
Tommy menyampaikan bahwa Kementerian ATR/BPN melalui Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang telah mengidentifikasi bahwa bangunan hotel milik PT HSH melanggar sejumlah ketentuan. Pelanggaran tersebut mencakup pembangunan sebagian di kawasan hutan lindung, sempadan sungai (100 meter), dan kawasan perdesaan, pelanggaran sektor kehutanan dan sumber daya air, dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan.
Pemerintah, kata Tommy, telah menetapkan sanksi administratif kepada PT HSH berupa kewajiban membongkar seluruh bangunan (kecuali masjid sebagai monumen banjir bandang 11 Mei 2024), memulihkan fungsi ruang, dan menaati tata ruang. Ia menginformasikan bahwa surat peringatan pertama dan kedua telah dikeluarkan oleh Dinas Bina Marga Cipta Karya dan Tata Ruang Sumbar masing-masing pada 4 dan 17 Februari 2025. Namun, hingga kini, kata Tommy, PT HSH belum melaksanakan kewajiban tersebut. Lebih jauh, katanya, surat peringatan (SP) ketiga belum diterbitkan meski jangka waktu pemberlakuannya sudah lewat.
“Informasi dari Ombudsman RI Perwakilan Sumbar menyebutkan bahwa PT HSH malah mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Gubernur Sumbar. Hal ini menjadi indikasi kuat adanya upaya impunitas antara pelaku pelanggaran dan pemerintah provinsi,” ujar Tommy.
Selain itu, kata Tommy, Walhi Sumbar menyatakan bahwa pelanggaran oleh PT HSH tidak hanya berdimensi administratif dan lingkungan, tetapi telah memasuki ranah pidana. Dalam kajian Walhi, kata Tommy, terdapat empat undang-undang yang diduga dilanggar, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, dengan ancaman pidana 1–3 tahun dan denda Rp1–5 miliar, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dengan ancaman pidana hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan ancaman pidana 10 tahun dan denda maksimal Rp7,5 miliar, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dengan ancaman pidana 3–6 tahun dan denda Rp300 juta–Rp2 miliar.