Kabarminang – Hujan baru saja reda ketika lantai tanah di sebuah gubuk reyot di Nagari Sungai Buluah Barat Padang Pariaman masih tergenang air. Di sudut gubuk itu, seorang perempuan muda berinisial S (23) duduk memeluk perutnya yang mulai membesar. Usia kandungannya sudah memasuki tujuh bulan. Namun, tak ada suami, tak ada kepastian siapa yang harus bertanggung jawab.
S bukan perempuan biasa. Ia mengalami keterbelakangan mental sejak kecil. Hidupnya penuh keterbatasan. Dalam dunia yang sulit ia pahami, tubuhnya menjadi sasaran kekerasan yang tak mampu ia lawan.
Ini bukan kehamilan pertamanya. Beberapa waktu lalu, S melahirkan seorang bayi melalui operasi sesar tanpa mengetahui siapa ayahnya. Bayi tersebut kemudian diadopsi oleh seorang perempuan pekerja jalan tol asal Jakarta yang tidak memiliki anak. Namun, S tetap tinggal di kampung, di sebuah rumah yang jauh dari kata layak.
Rumah itu hanya bangunan sederhana dari papan lapuk dan seng berkarat, yang setiap kali hujan turun, air membanjiri lantai dan menembus dinding. Tempat di mana dingin, nyamuk, dan rasa takut menjadi teman tidur setiap malam.
Di gubuk itu, Rina (45), ibu kandung S, tak kuasa menahan air mata.
“Dia anak saya, saya sayang dia… Tapi saya nggak sanggup jaga dia sendiri,” ujarnya lirih.
Rina bercerita, suaminya (ayah tiri S) bekerja di luar daerah dan hanya pulang sesekali. Di rumah, mereka hidup tanpa penghasilan tetap, tanpa pagar, bahkan tanpa kamar yang bisa dikunci untuk melindungi S dari bahaya.
“Waktu dia hamil pertama, kami bingung. Sekarang dia hamil lagi… saya takut dia disakiti lagi,” kata Rina.