Kabarminang – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumatera Barat mengatakan rencana pemerintah membentuk Komisi Reformasi Kepolisian berpotensi menjadi gimmick politik semata. PBHI menilai reformasi Polri hanya bisa dijalankan melalui mekanisme konstitusional, bukan lewat tim ad hoc yang mudah dipolitisasi.
Perwakilan PBHI Sumatera Barat, Fadil, menyebut mandat reformasi Kepolisian sebenarnya sudah jelas tercantum dalam UUD 1945 Pasal 30 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Namun, selama lebih dari 20 tahun, regulasi itu tidak pernah dievaluasi serius untuk menjawab persoalan mendasar di tubuh Polri.
“Komisi yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto ini hanya respons elit untuk meredam gejolak politik medio Agustus–September. Pola ini mengulang era Presiden Joko Widodo yang juga membentuk tim serupa, tapi hasilnya hanya berhenti pada laporan administratif tanpa menyentuh akar masalah,” ujarnya Selasa (16/9/2025).
Menurutnya, reformasi Polri harus dijalankan melalui revisi undang-undang, termasuk UU Polri dan KUHAP, agar perubahan bersifat mengikat secara konstitusional. Tanpa itu, tim atau komisi hanya akan menghasilkan rekomendasi yang mudah diabaikan.
PBHI menilai reformasi Polri merupakan tolok ukur demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Catatan lembaga internasional seperti The Economist Intelligence Unit dan Civicus telah menempatkan Indonesia sebagai flawed democracy dan obstructed democracy, akibat maraknya kriminalisasi aktivis, praktik represif, dan lemahnya perlindungan HAM.
“Polri yang humanis, akuntabel, dan tunduk pada supremasi sipil menjadi syarat utama demokrasi. Kalau praktik represif dibiarkan, kepercayaan publik semakin merosot, bahkan bisa berdampak pada stabilitas investasi,” kata Fadil.
Ia mengtakan, reformasi Polri harus menyentuh tiga aspek utama, yakni, struktur, regulasi, dan kultur. “Kalau hanya komisi ad hoc, hasilnya pasti repetisi. Reformasi sejati hanya bisa dijalankan melalui revisi undang-undang. Itu yang akan mengikat secara konstitusional,” tegasnya.
Pandangan serupa juga disuarakan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sumatera Barat dalam diskusi publik yang digelar PBHI. Adrizal dari LBH Padang menyebut UU 2/2002 gagal mereformasi Polri. “Alih-alih menjadi alat negara, Polri justru menjadi alat kekuasaan yang rawan melanggar HAM. Dalam reformasi, aspek kultur, kewenangan, hingga struktur harus ditata ulang secara menyeluruh,” katanya.