“Begitu laporan kami terima, kami tidak menunda. Semua pihak kami libatkan agar anak-anak merasa aman dan mendapat perlindungan,” ujar Kepala Sekolah berinisial ED.
Sekretaris yayasan, inisial ER menambahkan bahwa tindakan pelecehan tidak dilakukan di sekolah, melainkan di rumah DS yang juga dijadikan tempat belajar tambahan.
“Kami tidak mentoleransi tindakan semacam ini, DS langsung kami berhentikan secara permanen dan kami pastikan para siswa mendapat pendampingan psikologis,” ujarnya.
Sebagai langkah pencegahan, sekolah akan memperketat rekrutmen guru dengan syarat SKCK, pemeriksaan kesehatan mental, dan wawancara mendalam. Hingga kini, pihak kepolisian sendiri belum menerima laporan resmi dari orang tua korban, namun menyatakan siap menindaklanjuti jika laporan disampaikan.
RPSA: Kampuang Dalam Sudah Masuk Zona Darurat Pencabulan Anak
Ketua Rumah Perlindungan Sosial dan Anak (RPSA) Padang Pariaman–Pariaman, Fatmiyeti Kahar, menegaskan bahwa deretan kasus ini menunjukkan darurat pencabulan anak di wilayah V Koto Kampuang Dalam.
“Kalau tidak ada kontrol keluarga, baik dari lingkungan maupun orang tua, kasus seperti ini akan terus berulang. Padang Pariaman butuh relawan untuk sosialisasi dan edukasi berkelanjutan,” tegas Fatmiyeti.
Ia menekankan pentingnya pendidikan seksual berbasis nilai di sekolah dan keluarga agar anak-anak paham tentang batas aman dalam berinteraksi. Menurutnya, pendekatan preventif dan koordinasi lintas sektor sangat dibutuhkan agar kasus serupa tidak terulang.
“Kalau anak-anak dibiarkan tanpa arahan, risiko jadi korban bahkan kemudian jadi pelaku semakin besar. RPSA siap membantu edukasi, tapi butuh dukungan semua pihak,” ujarnya.
Ia menyebut, dari dua kasus tersebut melibatkan 21 anak di V Koto Kampuang Dalam menjadi korban, hal ini harus menjadi alarm keras bagi pemerintah, aparat, dan masyarakat.
“Ini harus ditangani bersama demi keselamatan anak-anak kita,” tutupnya.
















