“Anak-anak kami dilempari, ada yang dipukul pakai kayu, ditendang. Umurnya 8 dan 11 tahun. Mereka sekarang trauma,” ungkapnya dengan suara bergetar.
Dachi menegaskan bahwa ia dan jemaat tidak membalas tindakan tersebut. “Kami percaya negara ini negara hukum. Saya hanya menahan anggota jemaat saya agar tidak membalas,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak digaji untuk melakukan pembinaan tersebut.
“Saya membina mereka dengan tulus. Bahkan orang tua mereka pun saya ajarkan firman Tuhan. Tapi hari itu, semua rusak. Alat elektronik hancur, listrik diputus, anak-anak trauma,” ujarnya.
Dialog terbuka yang berlangsung di Kantor Camat Koto Tangah menjadi awal dari upaya penyelesaian secara damai. Para pihak menyampaikan niat untuk mencari jalan tengah atas insiden tersebut.
“Rusak kita pelokkan, luka kita obati, bengkak kita sejukkan,” kata Ketua RW menutup pernyataannya dengan ungkapan adat.
Meski demikian, Dachi menyampaikan bahwa pihaknya mempertimbangkan langkah hukum jika tidak ada penyelesaian yang adil. “Kami ingin beribadah dengan tenang. Kami percaya masih banyak warga dan pemimpin yang menjunjung toleransi,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, kericuhan terjadi pada Minggu (27/7) sekitar pukul 16.00 WIB di rumah doa milik jemaat kristen GKSI Anugerah Padang yang berlokasi di RT 03 RW 09, Kelurahan Padang Sarai. Rumah itu saat itu sedang digunakan untuk ibadah dan pendidikan agama oleh sekitar 30 anak-anak jemaat.
Insiden perusakan rumah doa yang juga berfungsi sebagai tempat pendidikan agama bagi siswa Kristen itu viral di media sosial. Dalam video terlihat sejumlah orang membawa balok kayu dan merusak rumah ibadah tersebut. Terdengar juga suara histeris ketakutan dari jemaat yang mayoritas perempuan dan anak-anak.