Kabarminang.com – Pulau Cingkuk, yang terletak di lepas pantai Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, menyimpan jejak sejarah panjang dalam perkembangan perdagangan di wilayah pesisir barat Sumatra.
Salah satu peninggalan bersejarah yang masih dapat ditemukan di pulau ini adalah Benteng Pulau Cingkuk.
Pulau Cingkuk, sebuah pulau kecil di Teluk Painan. Kawasan Pulau Cingkuk diduga merupakan benteng Portugis yang digunakan sebagai gudang lada masa VOC.
Dilansir dari laman kemdikbud.go.id, Pulau Cingkuk juga memiliki nama lain yaitu Chinco, Poulo Chinco, Poulo Chinko (Dalam bahasa Portugis) Poeloe Tjinko, Poelau Tjingkoek, Pulu Tjinkuk (Dalam bahasa Belanda).
Meski sempat dipercaya sebagai benteng peninggalan Portugis, penelitian menunjukkan bahwa benteng ini sebenarnya dibangun oleh Belanda pada abad ke-17 sebagai bagian dari strategi mereka dalam menguasai perdagangan lada di pesisir Minangkabau.
Sejarah Awal
Pendirian benteng ini berawal dari kesepakatan antara raja-raja pesisir selatan Minangkabau dengan Belanda dalam Traktat Painan pada tahun 1663. Kesepakatan tersebut memberi hak kepada VOC untuk memonopoli perdagangan lada dan mendirikan pangkalan di Pulau Cingkuk.
Dua tahun setelah traktat itu ditandatangani, Belanda mulai membangun loji dagang, yang kemudian diperkuat dengan benteng pertahanan pada tahun 1665. Benteng ini menjadi pusat aktivitas VOC dalam mengamankan hasil lada dari wilayah sekitar sebelum dikirim ke Batavia.
Peningkatan Struktur Benteng dan Kejayaannya
Pada tahun 1709, VOC melakukan penguatan terhadap Benteng Pulau Cingkuk dengan mengganti struktur kayu menjadi tembok beton.
Benteng ini dilengkapi dengan meriam, gudang senjata, kamp prajurit, hingga penjara untuk menjaga keberlangsungan perdagangan lada yang sangat berharga kala itu. Benteng ini berbentuk tapal kuda dengan dinding kokoh yang dibangun di atas bukit karang landai, memberikan perlindungan maksimal bagi armada dagang Belanda.
Selama lebih dari satu abad, benteng ini berdiri kokoh sebagai benteng pertahanan VOC di pesisir barat Sumatra.
Keberadaan benteng ini memastikan Belanda tetap mengendalikan perdagangan lada di wilayah pesisir Minangkabau dan menjaga dominasi mereka atas jalur pelayaran strategis.
Namun, kejayaan benteng ini berakhir pada tahun 1781 saat armada Inggris menyerang Pulau Cingkuk. Belanda berhasil dikelabui oleh pesaing mereka, dan serangan Inggris menghancurkan sebagian besar struktur benteng serta fasilitas perdagangan di sekitarnya.
Tidak berniat untuk menduduki pulau ini, Inggris meninggalkan Pulau Cingkuk dalam keadaan porak-poranda. Sejak saat itu, aktivitas perdagangan di pulau ini semakin meredup, seiring dengan melemahnya permintaan lada di pasar dunia.
Saat ini, Benteng Pulau Cingkuk telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat pada tahun 2011. Meskipun sebagian besar bangunannya telah runtuh, sisa-sisa benteng seperti pintu masuk, dinding yang kokoh, dan dermaga masih dapat ditemukan di lokasi. Struktur temboknya yang memanjang berbentuk tapal kuda masih menjadi bukti kejayaan masa lalu Pulau Cingkuk sebagai pusat perdagangan yang penting.
Makam Madame van Kempen: Jejak Kolonial di Pulau Cingkuk
Selain benteng, Pulau Cingkuk juga memiliki satu peninggalan menarik lainnya, yaitu makam Madame van Kempen. Makam ini diperkirakan milik seorang wanita Belanda yang merupakan istri dari seorang pejabat tinggi VOC.
Menariknya, prasasti di sekitar makam menyebutkan bahwa keluarga Madame van Kempen telah mencarinya selama lebih dari 150 tahun hingga akhirnya ditemukan pada tahun 1911. Di sekitar makam juga ditemukan pecahan keramik, botol kaca, dan uang logam yang semakin menambah nilai historis dari situs ini.