Dalam kesaksian G, kasus ini bermula ketika ia berkenalan dengan RA pada Februari 2024. Ia bersama RA kemudian menjalin hubungan namun tidak berpacaran. Hubungan tersebut berlanjut hingga pada Mei 2024 G mengetahui dirinya hamil. G menyampaikan kehamilannya itu kepada RA dan memintanya untuk ikut bertanggung jawab.
“Namun dia tidak bersedia dan meminta untuk digugurkan. Saya sampaikan ingin merawat (bayi jika lahir) namun dia bilang tidak akan pernah melihatnya,” ujar G lirih.
G bilang RA terus memaksanya untuk melakukan aborsi. Ia kebingungan dan akhirnya mengikuti keinginan RA, meskipun separuh hati. Awalnya RA memberi G lima jenis obat dan dua botol jamu.
“Dipaksa minum obat dan jamu itu, minumnya harus dilihat melalui video call. karena cemas dengan dampaknya, tidak semua obat saya minum,” terangnya.
Selang beberapa waktu, G memberanikan diri memeriksa kehamilannya ke dokter. Hasilnya, janin tidak berkembang dan dokter menyarankan dikeluarkan.
Menurut G, RA mengurus seluruh keperluan kuret disalah satu rumah sakit swasta di Padang pada Juli 2024.
“Sebelum aborsi itu kami telah membuat perjanjian bahwa dia bertanggung jawab sampai ia sembuh dan tidak saling memviralkan kejadian ini,” katanya.
Namun menurut G, RA melanggar perjanjian itu lantaran menghilang begitu saja padahal ia belum sembuh total, bahkan divonis kista akibat aborsi itu.