Nulker menjelaskan, masyarakat adat Saureinu memiliki sistem pengelolaan hutan yang diwariskan secara turun-temurun, termasuk prinsip “tebang pilih” saat membuka ladang. Mereka hanya menebang pohon tertentu dan tetap menyisakan pohon berkualitas sebagai cadangan bahan bangunan.
“Berladang saja kami masih selektif. Tidak semua ditebang habis. Kalau perusahaan masuk, takutnya seperti pengalaman masa lalu semua habis, hulu sungai ditimbun, air rusak,” ungkapnya.
Ia juga menyebut bahwa pengelolaan hutan adat bersifat komunal, bukan dikuasai oleh satu orang. Oleh sebab itu, klaim dukungan dari satu individu dianggap menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip kolektif masyarakat adat.
Nulker turut menyoroti soal tidak transparannya proses pertemuan awal dengan tim KSP. Undangan pertemuan di Kantor Bupati Mentawai pada 1 Juli 2025, menurutnya, baru diterima 10 menit sebelum acara dimulai. Hal ini menyulitkan masyarakat untuk mengorganisir kehadiran pengurus uma yang umumnya sudah berada di ladang pada siang hari.
Beruntung, KSP juga memiliki agenda turun ke lapangan sehingga masyarakat meminta agar pertemuan dilakukan langsung di Uma Saureinu.
“Malamnya kami berkoordinasi dan mempersiapkan pertemuan. Paginya sekitar 50-an anggota berkumpul, namun karena tim KSP datang agak siang, sebagian sudah ke ladang. Yang hadir dalam pertemuan sekitar 20-an orang, tapi itu para rimata, sikebbukat, dan pengurus uma lainnya,” jelasnya.
Penolakan Ditandatangani dan Diserahkan ke KSP
Dalam pertemuan tersebut, masyarakat membacakan surat penolakan dan menyerahkannya secara resmi kepada tim KSP. Surat tersebut berisi pernyataan bahwa masyarakat adat Uma Saureinu tidak pernah memberikan mandat, rekomendasi, maupun persetujuan kepada pihak manapun yang mengatasnamakan mereka terkait PBPH PT SPS.