Kabarminang – Tiga komunitas adat di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menyatakan sikap tegas menolak kehadiran PT Sumber Permata Sipora (SPS) dalam pengelolaan hutan adat mereka.
Penolakan itu disampaikan secara langsung kepada perwakilan Kantor Staf Presiden (KSP) dalam pertemuan yang digelar di Uma Saureinu, Desa Saureinu, Kecamatan Sipora Selatan, Rabu (2/7/2025).
Tiga komunitas adat yang hadir adalah Uma Saureinu di Desa Saureinu dengan luas wilayah adat 7.840,76 hektare, Uma Usut Ngaik di Desa Matobe dengan luas 1.016 hektare, dan Uma Rokot di Desa Rokot seluas 941 hektare.
Wilayah-wilayah ini merupakan bagian dari areal yang masuk dalam rencana Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT SPS seluas total 20.706 hektare.
Penolakan Tegas Masyarakat Adat
Anggota Uma Saureinu, Nulker Sababalat, mengungkapkan bahwa perusahaan mengajukan izin pengelolaan hutan di kawasan hutan adat yang sudah ditetapkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hutan adat Uma Saureinu sendiri telah ditetapkan secara resmi seluas 5.719 hektare melalui SK.10284/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL1/12/2019 pada 20 Desember 2019.
Menurut Nulker, masyarakat adat telah menyampaikan penolakan sejak awal melalui surat resmi kepada kementerian. Namun hingga kini, belum ada kepastian mengenai tindak lanjut dari surat tersebut.
“Sebelum tim KSP datang ke Mentawai, enam komunitas adat di Sipora sudah lebih dulu bersurat kepada kementerian untuk menyampaikan penolakan. Tapi kami belum tahu responsnya,” kata Nulker kepada Sumbarkita, Selasa (8/7/2025).
Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Menurutnya, masyarakat adat khawatir terhadap dampak lingkungan yang dapat terjadi jika perusahaan mulai beroperasi, termasuk hilangnya wilayah adat sebagai ruang hidup, terancamnya ketahanan pangan dan air, punahnya pengetahuan lokal, serta meningkatnya risiko bencana dan konflik sosial.