Kabarminang – Kisah pilu menimpa siswi SMP bernama Zahira, warga asal Payakumbuh, ia menulis surat terbuka kepada Kantor Imigrasi Agam. Dalam surat tertanggal 24 September 2025, ia memohon agar ibunya, Nur Amira, tidak lagi dideportasi ke Malaysia.
Nur Amira kini ditahan di ruang detensi Kantor Imigrasi Agam sejak pertengahan September 2025. Penahanan itu terjadi setelah dokumen Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) miliknya dinyatakan batal oleh pihak KJRI Johor Bahru, Malaysia.
Dalam surat tersebut, Zahira menceritakan ibunya pertama kali dideportasi ke Malaysia pada Oktober 2024. Saat itu dituding sebagai warga Malaysia karena pernah memiliki paspor dan akta lahir Malaysia tahun 1996.
Kemudian saat hendak mengurus dokumen di Jabatan Pendaftaran Negara (JPN) Malaysia, identitas Nur Amira tidak ditemukan. Ia disebut telah 30 tahun meninggalkan negeri itu dan tinggal di Indonesia bersama ibunya yang menikah dengan warga lokal. Di Indonesia, Nur Amira memiliki KTP, KK, bahkan pernah menikah secara sah sehingga memiliki seorang anak bernama Zahira.
Karena tak memiliki dokumen Malaysia, Nur Amira sempat ditahan dua bulan di Penjara Kajang, Malaysia, sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia menggunakan SPLP yang dikeluarkan KJRI Johor Bahru. Setelah itu ia tinggal kembali tinggal bersama Zahira di Payakumbuh, dan saat itu kasusnya dianggap selesai, dan Imigrasi hanya meminta agar Nur Amira mengaktifkan kembali KTP Indonesia.
Namun, masalah baru muncul ketika Nur Amira mendatangi Kantor Imigrasi Agam untuk meminta surat keterangan WNI. SPLP miliknya ditahan dan dinyatakan tidak sah, hingga akhirnya ia ditetapkan sebagai tahanan detensi tanpa surat penahanan resmi.
Lewat surat yang ditujukan langsung kepada Kepala Imigrasi Agam, Zahira menulis harapan agar ibunya tetap diizinkan tinggal di Indonesia.
“Ibu saya bukan kriminal. Sejak lahir, hanya ibu yang membesarkan saya. Jika ibu dideportasi lagi, masa depan saya akan hancur,” tulis Zahira.