“Namun, cara Presiden menyampaikannya dengan kelakar yang merendahkan justru menunjukkan arogansi dan sikap antipati terhadap pers,” paparnya.
Sikap tersebut, dianggap tidak hanya mencerminkan ketidakpahaman terhadap peran pers sebagai pengawas demokrasi, tetapi juga memperlihatkan kontrol berlebih atas informasi publik. Tindakan ini memperkuat kesan otoriter yang dapat mengancam kebebasan pers dan ruang demokrasi di Indonesia.
“Pernyataan ini memperpanjang catatan buruk Presiden Prabowo dalam menyikapi pers, yang kerap menunjukkan sikap merendahkan kerja jurnalis,” imbuhnya.
Sebagai kepala negara, tindakan Prabowo disebut memberi contoh buruk yang berpotensi melemahkan kepercayaan publik pada pers, serta membahayakan proses demokrasi yang sehat. Gestur pengusiran jurnalis dan perlakuan tidak hormat terhadap pers adalah ancaman nyata bagi kebebasan pers dan hak atas informasi.
LBH Pers menegaskan bahwa Presiden RI harus memahami peran pers bukan hanya sebagai pilar demokrasi, tetapi juga sebagai representasi masyarakat sipil. Kehadiran jurnalis bertujuan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan akses masyarakat terhadap informasi publik yang esensial bagi kehidupan demokrasi.
Karenanya, LBH Pers mendsesak dua hal. Pertama, Presiden RI Prabowo Subianto segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada jurnalis yang hadir pada 22 Januari 2025 serta kepada insan pers secara umum.
Kedua, Presiden RI menunjukkan komitmennya untuk menjamin pemenuhan hak atas kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pernyataan dan tindakan Presiden harus sejalan dengan penghormatan terhadap demokrasi dan HAM. Negara wajib menjadi pelindung, bukan penghambat, bagi kebebasan pers,” pungkas keterangan LBH Pers.