Sebelum Harmoko, Menteri Penerangan Ali Murtopo juga pernah melarang lagu “Genjer-Genjer,” yang dianggap memiliki keterkaitan dengan ideologi komunis. Kemudian, lagu-lagu kritik sosial seperti “Bongkar” karya Iwan Fals serta “Pak Tua” yang dinyanyikan Elpamas turut masuk dalam daftar hitam pemerintah.
“Saat itu, konser-konser Iwan Fals sering dicekal karena liriknya dianggap menimbulkan keresahan bagi pemerintah,” kata Hendra.
Tidak hanya musisi pop dan rock, grup musik Bimbo juga pernah menghadapi pencekalan. Lagu mereka, “Tante Sun,” dilarang karena diduga menyindir istri pejabat pemerintah.
Bahkan, lagu-lagu daerah pun tak luput dari sensor, seperti “Haro Hara” yang dilarang karena menceritakan pembantaian sipil di Aceh oleh ABRI. Band asal Papua, Black Sweet, juga mengalami hal serupa karena indikasi keterkaitan mereka dengan gerakan Papua Merdeka.
Kembali ke Pola Lama?
Sejarawan Hendra Naldi menyoroti bahwa gejala pembungkaman ekspresi semakin terlihat sejak era pemerintahan Jokowi.
“Hari ini kita melihat fenomena yang mirip dengan Orde Baru. Ada indikasi bahwa regulasi karet mulai dihidupkan kembali. Kasus lagu yang menyinggung polisi ini bisa menjadi semacam ‘uji coba’ apakah negara akan kembali ke pola represif,” ujarnya.
Menurutnya, jika aturan-aturan pembatasan ekspresi terus diterapkan, maka kebebasan berbicara dan berpikir di Indonesia berisiko semakin tergerus.