“Sekarang saya sudah panen. Uangnya bisa untuk sekolah anak-anak,” ucapnya.
Ramnida mengungkapkan bahwa ia pertama kali mendengar informasi mengenai program PSR dari tetangganya, yang memberitahukan bahwa sawitnya sudah terlalu tinggi dan tidak lagi produktif. Mendengar hal itu, ia mencoba untuk mengajukan program peremajaan. Ia pun mendaftar ke koperasi dan melengkapi semua dokumen yang diperlukan.
Penjabat Wali Nagari Talao Sungai Kunyit, Sifat, menjelaskan peran pemerintah nagari dalam program PSR. Ia mengatakan bahwa pemerintah nagari hanya menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) bagi warga yang tidak memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) untuk mengajukan diri mendapatkan Program PSR. Mereka memeriksa bahwa lahan tidak berada di kawasan HGU perusahaan, kawasan hutan atau Taman Nasional Kerinci Seblat.
Nagari Talao Sungai Kunyit berpenduduk sekitar 4.000 jiwa dengan empat jorong: Talao, Sungai Keruh, Sungai Jerinjing, dan Sungai Talang. Daerah itu terpencil, luasnya sekitar 173,24 kilometer persegi dan dikelilingi perkebunan sawit serta tiga perusahaan besar: Asian Agri, Incasi Raya SJAL Talao, dan KSI. Jarak ke ibu kota kabupaten mencapai 59 kilometer sehingga akses jalan masih terbatas.
“Sesuai dengan laporan yang saya dapat dari masyarakat, petani sangat terbantu dengan adanya Program PSR itu,” tutur Sifat.
Perihal masalah hukum yang sedang beredar, Bendahara Koperasi Produsen Talao Mandiri, Alfis Yuhendri, menjelaskan bahwa koperasi telah melengkapi semua dokumen yang diminta oleh Kejari Solok Selatan.
Alfis juga menegaskan bahwa semua tahap PSR, dari tahap pertama hingga tahap keempat, sudah berjalan sesuai dengan prosedur.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Solok Selatan, Admi Zulkhairi, menegaskan tak ada persoalan pada berkas pengajuan Program PSR dari koperasi tersebut. Ia mengingatkan bahwa aturan Kementerian Pertanian mewajibkan satu Nomor Induk Kependudukan hanya boleh meremajakan maksimal empat hektare; kelapa sawit yang diremajakan harus berumur tua, berasal dari benih tak bersertifikat atau memiliki produktivitas di bawah 10 ton per hektare per tahun; dana bantuan berasal dari pungutan ekspor minyak sawit dan dicairkan melalui kelompok tani. Admi menyarankan kepada warga untuk melengkapi legalitas lahan, dari sertifikat hak milik hingga surat keterangan tanah.