Kabarminang.com – Pada pertengahan abad ke-19, sebuah monumen megah berdiri kokoh di Kota Padang, Sumatera Barat. Monumen tersebut dikenal sebagai Monumen Michiels, yang disebut sebagai monumen terbesar dan tertinggi di Pulau Sumatra pada masanya. Didirikan pada tahun 1855, monumen ini berlokasi di Michielsplein, sebuah lapangan yang kini dikenal sebagai Taman Melati, dekat Museum Adityawarman.
Pendirian monumen ini bertujuan untuk mengenang Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels, seorang pejabat Hindia Belanda yang dianggap berjasa dalam ekspedisi militer Belanda di Nusantara, terutama di Sumatra Barat. Keberadaannya tidak hanya menjadi penghormatan bagi Michiels, tetapi juga mencerminkan dominasi kolonial di wilayah tersebut.
Struktur dan Keunikan Arsitektur
Monumen Michiels memiliki struktur yang mengesankan dengan estimasi ketinggian sekitar 14,4 meter. Material utama yang digunakan adalah besi, dengan lantai berlapis marmer dan dinding yang dihiasi relief bergaya Eropa.
Bentuknya yang meruncing di bagian atas menampilkan karakteristik arsitektur Eropa kuno, khususnya gaya gotik yang banyak ditemukan pada menara gereja abad pertengahan.
Keunikan monumen ini tidak hanya terletak pada bentuknya, tetapi juga pada detail ornamen yang menghiasi setiap sisinya. Inskripsi berbahasa Belanda dan Arab-Melayu tertulis di berbagai bagian monumen, memberikan kesan bahwa monumen ini juga mencoba merefleksikan keberagaman budaya di Hindia Belanda.
Simbol Kekuasaan Kolonial
Keberadaan Monumen Michiels di Padang bukanlah satu-satunya. Monumen serupa juga didirikan di Batavia dan Surabaya. Hal ini menegaskan bahwa monumen ini bukan sekadar penghormatan bagi seorang pejabat militer, tetapi juga merupakan simbol kekuasaan Belanda di berbagai daerah strategis di Nusantara.
Sejarawan Rusli Amran menyebut Monumen Michiels sebagai monumen terbesar yang pernah didirikan oleh Belanda di Sumatra. Sementara itu, antropolog Belanda, Freek Colombijn, melihat monumen ini sebagai representasi supremasi kolonial di Sumatra Barat. Sayangnya, monumen ini akhirnya dihancurkan, diduga pada masa pendudukan Jepang, dan kini hanya tersisa dalam catatan sejarah.