Kabarminang – Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sumatera Barat (Sumbar) menyampaikan sikap kritis terhadap berbagai persoalan hukum, sosial, dan lingkungan yang dinilai kian mengancam keadilan dan demokrasi di Indonesia, khususnya di provinsi ini. Mereka menggelar aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia (C)emas” di Kantor DPRD Sumbar pada Senin (4/8).
Dalam kajian BEM Sumbar yang diterima Kabarminang.com, mereka menyoroti Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai mengandung pasal-pasal problematik. BEM Sumbar menilai beberapa ketentuan dalam RKUHAP itu justru melemahkan prinsip perlindungan hak asasi manusia meski menawarkan pembaruan prosedural, seperti pengakuan terhadap bukti elektronik, penguatan hak tersangka dan terdakwa, serta perlindungan terhadap kelompok rentan. Mereka memberikan beberapa contoh, Pasal 16 tentang penyelidikan yang terlalu luas, Pasal 33 dan 74 yang membatasi pendampingan hukum, serta Pasal 105 yang berpotensi melanggar privasi atas dokumen elektronik. Mereka juga menganggap bahwa RKUHAP berpotensi memperlemah lembaga praperadilan, memperkuat pendekatan represif negara, dan memberikan ruang impunitas aparat hukum.
Aliansi BEM Sumbar juga mengecam praktik manipulasi sejarah yang terjadi dalam narasi pendidikan nasional. Menurut BEM Sumbar, sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tetapi pondasi jati diri bangsa. Praktik penghapusan peristiwa penting seperti Gerakan Mahasiswa, Kongres Perempuan Pertama, hingga pelanggaran HAM terhadap etnis Tionghoa dinilai sebagai bentuk kekerasan struktural terhadap kebenaran.
“Jika sejarah dihapus atau diubah, kita kehilangan jejak masa lalu dan arah masa depan.” Demikian kutipan dari kajian mereka.
BEM Sumbar juga menyentil janji pemerintah menciptakan 19 juta lapangan kerja, tetapi pada saat bersamaan terjadi praktik rangkap jabatan di lingkup kekuasaan. Mereka menyebut hal itu sebagai ironi di tengah krisis pengangguran yang justru memperburuk kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam mewujudkan kesejahteraan.
BEM Sumbar turut menyoroti ancaman terhadap masyarakat adat dan lingkungan hidup di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai. Mereka menilai proses perizinan PT SPS cacat karena tidak melibatkan masyarakat adat serta mengabaikan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
Selain itu, BEM Sumbar menyoroti pelanggaran lingkungan oleh PLTU Ombilin. Mereka mengatakan bahwa meski pengelola PLTU telah dijatuhi sanksi oleh Kementerian LHK sejak 2018, pemulihan kerusakan lingkungan belum tuntas. Masyarakat di sekitar PLTU bahkan resah setelah terjadinya longsor limbah abu (FABA) yang mencemari Sungai Batang Ombilin.
Perihal kasus 13 tenaga kerja asing (TKA) ilegal asal Tiongkok di PT Gamindra Mitra Kusuma, Nagari Air Bangis, Pasaman Barat, BEM Sumbar menilai bahwa hal itu menunjukkan lemahnya pengawasan sektor ketenagakerjaan. Para TKA diketahui bekerja menggunakan visa kunjungan tanpa dokumen resmi ketenagakerjaan. Temuan itu mengungkap minimnya keterlibatan masyarakat lokal dan potensi konflik sosial akibat pelanggaran regulasi.