Kabarminang.com – Stasiun Limbanang Suliki merupakan nama sebuah stasiun yang pernah ada di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar). Stasiun ini dulunya menjadi penghubung antara pedalaman dengan pusat ekonomi besar, seperti Pelabuhan Teluk Bayur. Namun, kini stasiun Limbanang hanya tinggal kenangan karena tidak beroperasi lagi dan telah dibongkar.
Berikut sejarah dan fakta menarik dari stasiun Limbanang Suliki
Awal Mula Pembangunan Stasiun
Berdirinya stasiun ini bermula dari penemuan batubara di Ombilin, Sawahlunto pada akhir abad ke-19. Penemuan ‘emas hitam’ ini membuat Pemerintah Kolonial Belanda melalui Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Westkust (SSS) membangun jalur kereta api yang menghubungkan Teluk Bayur dengan Sawahlunto.
Keberhasilan jalur tersebut membuat SSS memperluas jaringan rel ke dataran tinggi Sumatera Barat. Mereka membangun jalur dari Padang Panjang, melewati Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), hingga Payakumbuh. Namun, jalur tersebut tidak berhenti sampai di situ. Jalur kereta api kembali diperluas sejauh 20 km hingga ke Limbanang, Suliki, yang diresmikan pada tahun 1921. Tujuannya sudah jelas untuk mengeksploitasi hasil tambang emas dan perak ke Mangani.
Mangani, Pedalaman dengan Fasilitas Lengkap
Jalur Payakumbuh-Limbanang bukan sekedar rel besi biasa. Ia menjadi urat nadi perekonomian kawasan tambang Mangani. Kawasan Mangani yang jadi pusat pertambangan kala itu bak kota kecil yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung, seperti toko kebutuhan sehari-hari dan rumah sakit mini.
Menariknya, tenaga medis di rumah sakit mini ini didatangkan langsung dari Australia, menunjukkan betapa pentingnya kawasan pertambangan Mangani bagi pemerintah kolonial.
Penutupan Jalur Kereta Api Payakumbuh-Limbanang
Meski punya peran strategis, jalur kereta api ini menghadapi tantangan berat. Sungai Lampasi yang sering meluap menjadi ancaman bagi infrastruktur rel dan jembatan. Banjir berulang kali terjadi menyebabkan jembatan rusak dan membuat jalur kereta api mengalami kerugian besar.
Selain faktor alam, kandungan emas dan perak di Mangani juga mulai menipis, dan perusahaan tambang Mjinbouw Maatschappij (MM) Aequator yang semula jadi penyumbang dana terbesar, mulai angkat kaki karena rugi. Dua masalah besar ini akhirnya membuat jalur kereta api Payakumbuh-Limbanang harus ditutup pada tahun 1933. Tiga tahun kemudian, pada 1936, jalur ini dibongkar. Besi rel dan bantalannya bahkan dikirim ke Aceh untuk membantu pembangunan jalur kereta api di sana.