Kabarminang – Banjir bandang yang melanda Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara dinilai bukan sekadar bencana alam, melainkan dampak langsung dari deforestasi dan krisis iklim. Penilaian tersebut disampaikan Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid.
Menurut Khalisah, bencana yang telah merenggut ribuan korban jiwa itu memenuhi unsur ekosida, yakni kejahatan serius berupa perusakan lingkungan hidup yang dilakukan secara masif, sistematis, dan meluas, serta mengancam keberlanjutan ekosistem dan kehidupan manusia.
“Kalau kita lihat unsurnya, ini terencana, sistematik, dan meluas. Kerugiannya menurut hitungan Celios mencapai Rp 68,8 triliun, itu pun baru kerusakan infrastruktur, belum termasuk biaya pemulihan,” kata Khalisah dalam keterangannya, Kamis (18/12/2025).
Ia menegaskan, krisis iklim tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan lahir dari kebijakan ekonomi yang eksploitatif terhadap alam, termasuk pembukaan hutan dan pengelolaan sumber daya yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Karena itu, Khalisah mendesak pemerintah melakukan “taubat ekologis”, sebuah konsep pemulihan menyeluruh atas kerusakan alam yang sudah terjadi. Menurutnya, langkah tersebut harus menyasar pengambil keputusan, termasuk politisi, dengan memastikan politik hijau menjadi agenda prioritas nasional.
“Taubat ekologis berarti menghadirkan kebijakan yang benar-benar melindungi masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dampak bencana di Sumatera terus meluas. Hingga Kamis (18/12/2025), BNPB mencatat 1.059 orang meninggal dunia akibat rangkaian banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Selain korban meninggal, BNPB juga mencatat 192 orang dinyatakan hilang serta sekitar 7.000 orang mengalami luka-luka.
Bencana tersebut berdampak pada 52 kabupaten/kota, dengan kerusakan infrastruktur dan permukiman warga dalam skala besar, serta memicu krisis kemanusiaan di sejumlah daerah.













