Kabarminang – Mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Barat (Sumbar), Saiful, divonis tujuh tahun penjara dalam kasus korupsi pembebasan lahan proyek Tol Padang–Sicincin. Ia terbukti bersalah menyalahgunakan kewenangannya sehingga negara rugi Rp27,4 miliar. Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Padang dalam sidang pada Jumat (8/8).
Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Saiful tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primair. Namun, ia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam dakwaan subsidair. Perbedaan itu menjadi penting untuk melihat bagaimana modus korupsi dijalankan dan mengapa hakim akhirnya menjatuhkan vonis.
Pada dakwaan primair, jaksa mendakwa Saiful melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara yang terstruktur, sistematis, dan masif. Unsur yang dimajukan dalam dakwaan itu mengarah pada pasal paling berat, yakni dugaan adanya niat langsung memperkaya diri dari tindakan pengadaan tanah.
Majelis hakim menilai tidak ada bukti kuat yang menunjukkan Saiful secara pribadi menikmati uang hasil korupsi atau memiliki peran langsung dalam mengendalikan distribusi dana ganti rugi untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, hakim membebaskan Saiful dari dakwaan primair.
Meski lolos dari dakwaan primair, Saiful tetap terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsidair. Hakim menilai Saiful menyalahgunakan kewenangan jabatannya sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) untuk pembangunan Tol Padang–Pekanbaru seksi Kapalo Hilalang–Sicincin–Lubuk Alung–Padang.
Jaksa penuntut umum (JPU) yang menyampaikan dakwaan itu ialah Yandi Mustiqa dari Kejaksaan Tinggi Sumbar.
Sebagai pejabat yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Kepala Kanwil BPN Sumbar, Saiful memiliki kewenangan untuk menandatangani berita acara verifikasi dan validasi daftar nominatif lahan. Kewenangan itulah yang ia salahgunakan dengan cara mengesahkan lahan milik pemerintah, seperti Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) dan kawasan Ibu Kota Kabupaten (IKK) Padang Pariaman, seolah-olah milik pribadi sejumlah warga.
Dokumen yang ia tandatangani kemudian dijadikan dasar pembayaran ganti rugi lahan kepada pihak yang tidak berhak. Menurut JPU, praktik itu membuat puluhan orang, termasuk pejabat BPN, perangkat nagari, dan tokoh masyarakat menerima aliran dana dengan total kerugian negara mencapai Rp27,4 miliar.