Aktivitas tambang itu, kata Firdaus, mengakibatkan sering terjadi galodo di Koto Rawang. Selain itu, katanya, aktivitas tambang tersebut membuat petani kehilangan sumber air karena penambangan batu besar memperdalam dasar sungai dan memperlebar badan sungai sehingga petani kesulitan mengalirkan air ke sawah mereka.
“Akibatnya, sawah petani menjadi sawah tadah hujan,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa aktivitas pertambangan tersebut sudah keterlaluan karena perusahaan tidak hanya menambang di sungai, tetapi juga sudah menambang di sawah warga.
Mengenai demo yang dilakukan oleh warga Koto Rawang dan Salido Saribulan, sementara lokasi tambang galian C berada di Koto Rawang, Firdaus mengatakan bahwa tanah ulayat, khususnya sawah yang terdampak aktivitas tambang itu, merupakan tanah ulayat masyarakat kedua nagari yang merupakan satu rumpun atau satu wilayah adat, yang dipisahkan oleh batas administratif kedua pemerintah nagari. Ia mengatakan bahwa lebih banyak sawah warga Salido Saribulan daripada sawah warga Koto Rawang yang terdampak aktivitas tambang itu.
Delfison mengatakan bahwa demo hari itu tidak mendapatkan titik temu antara warga yang demo dan PT Tigo Padusi Nusantara. Ia menyebut bahwa pada demo itu, Abdul Kadir Julis, Direktur Utama PT Tigo Padusi Nusantara, tidak hadir.
“Polisi memediasi pertemuan kami dengan PT Tigo Padusi Nusantara besok di lokasi tambang. Mediasi itu nanti dihadiri perwakilan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu,” ucapnya.
Sementara itu, Abdul Kadir Julis menuding para pendemo tersebut sebagai provokator, bukan murni masyarakat. Ia menyebut bahwa orang yang demo itu warga Salido Saribulan, sementara tambang galian C perusahaannya berada di Koto Rawang.
Kadir mengklaim perusahaannya memiliki izin usaha pertambangan dan sudah memiliki rencana kerja dan anggaran biaya penambangan.