Kabarminang – Pergeseran global menuju pembangunan hijau menemukan momentumnya di Padang. Universitas Andalas (UNAND) menjadi tuan rumah International Interdisciplinary Conference on Green Development in Tropical Regions 2025, yang sekaligus dirangkai dengan Kongres I Development Studies Association of Indonesia (DSA-Indonesia).
Konferensi dua hari yang berlangsung 27–28 Oktober 2025 di Convention Hall Kampus Limau Manis ini mengangkat tema “Global and Regional Challenges of Green Development in Tropical Regions to Achieve SDGs.”
Acara tersebut bukan sekadar forum ilmiah. Ia menjadi ajang evaluasi arah riset dan kebijakan pembangunan di kawasan tropis — wilayah yang sekaligus paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Kolaborasi Akademik untuk Menjawab Krisis Global
DSA-Indonesia (DSA-I), asosiasi studi pembangunan yang berdiri sejak 2022, menaungi sejumlah universitas besar seperti Universitas Sumatera Utara (USU), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Lampung (UNILA), Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), dan UNAND sendiri. Tahun ini, asosiasi itu untuk pertama kalinya berkongres.
Menurut Secretary of DSA-Indonesia, Windiani, forum ini dirancang bukan hanya sebagai wadah akademik, tetapi juga ruang refleksi dan pertukaran gagasan antarlembaga.
“Selain sebagai forum akademik, kegiatan ini juga menjadi momentum pelaporan perkembangan DSA-Indonesia sejak berdiri hingga 2025, serta menjajaki potensi kerja sama antarperguruan tinggi anggota di masa mendatang,” ujarnya.
Ilmu Pengetahuan di Tengah Krisis Iklim
Dalam sesi pembukaan, Mr. Muhammad Rachmat Kaimuddin, Deputy for Basic Infrastructure Coordination, Coordinating Ministry for Infrastructure and Regional Development, menegaskan hubungan timbal balik antara krisis iklim dan pola ekonomi global.
“Faktanya, perekonomian kita masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Ketika kita membakar fosil, kita menghasilkan gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim,” katanya.
Ia menyoroti empat material utama penyumbang emisi karbon — semen, baja, plastik, dan amonia — yang selama ini menopang industri, namun juga menjadi sumber tekanan ekologis. Menurutnya, inovasi teknologi dan efisiensi produksi menjadi kunci agar pembangunan di negara tropis tetap sejalan dengan target penurunan emisi global.















