Kabarminag – Dua tradisi asal Padang Pariaman, Sumatera Barat ditetapkan sebagai Warisan Budaya TakBenda Indonesia (WBTbI) oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Dua tardisi tersebut adalah Batagak Kudo-Kudo dan Katumbak.
Bupati Jon Kenedy Azis mengatakan, warisan budaya Batagak Kudo-Kudo dan Katumbak bukan sekadar tradisi, tetapi juga identitas dan jati diri masyarakat Kabupaten Padang Pariaman.
“Ini adalah tradisi yang perlu dijaga, dilestarikan, dan diwariskan kepada generasi mendatang,” katanya pada saat menerima penyerahan sertifikat WTBI tersebut dari Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, di Auditorium Gubernuran Provinsi Sumatera Barat pada Selasa, (5/8).
Katumbak dan Batagak Kudo-Kudo
Katumbak merupakan ansambel musik tradisional yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Padang Pariaman. Musik ini lahir dari perpaduan berbagai unsur budaya, seperti musik Minang, Melayu, dangdut, hingga India, yang menghasilkan karakter musikal unik, terutama dari sisi lagu dan aransemen.
Adapun instrumen yang digunakan dalam pertunjukan Katumbak antara lain, rabunian (harmonium), gandang katumbak (gendang bermuka dua), mambo (gendang bermuka satu berbentuk kerucut), dan giriang-giriang (tamborin).
Instrumen-instrumen ini biasa dimainkan untuk mengiringi vokal dalam berbagai konteks budaya, mulai dari pertunjukan seni tradisional, upacara adat, hingga festival budaya. Selain sebagai media pelestarian, musik Katumbak juga memiliki potensi untuk pengembangan seni kontemporer dan industri kreatif lokal.
Sementara itu, Batagak Kudo-Kudo merupakan tradisi yang erat kaitannya dengan nilai gotong royong dalam membangun rumah atau surau. Istilah ini berasal dari Bahasa Minang, yang berarti menegakkan kuda-kuda, sebuah komponen utama dari rangka atap bangunan.
Tradisi ini mencerminkan filosofi kuda yang memiliki empat kaki yang kuat dan tegap berdiri, sebagai simbol kekuatan dan kebersamaan. Proses Batagak Kudo-Kudo dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat setelah kerangka bangunan selesai dan siap dipasangi atap.
Melalui tradisi ini, masyarakat Padang Pariaman menunjukkan semangat solidaritas dan kebersamaan dalam membangun sarana hunian maupun ibadah. Nilai-nilai tersebut masih terjaga dan menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat hingga kini.