Selain di Lima Puluh Kota, Ferdinal menyebut laporan karhutla juga datang dari daerah lain seperti Pesisir Selatan, Tanah Datar, Agam, dan Pasaman. Namun, sejauh ini skalanya tidak sebesar yang terjadi di Harau.
Ferdinal menegaskan bahwa mayoritas kebakaran tidak terjadi di kawasan hutan. “Sekitar 85 persen dari karhutla yang terjadi berada di Areal Penggunaan Lain (APL),” ujarnya.
APL merupakan wilayah yang peruntukannya bukan untuk hutan, seperti lahan pertanian atau lahan terbuka milik masyarakat. Kebanyakan kasus dipicu oleh aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan dengan cara membakar.
“Pemicu terbanyak adalah kelalaian manusia, baik oleh petani maupun perusahaan. Ada yang kemudian menjalar hingga masuk ke kawasan hutan,” ujarnya.
Kondisi ini membuat Dinas Kehutanan menurunkan tim untuk mengantisipasi dan menyelamatkan kawasan hutan dari dampak kebakaran yang meluas.
Ferdinal juga menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas pelaku karhutla jika ditemukan unsur pidana. “Kalau nanti ditemukan ada unsur kesengajaan dan alat buktinya cukup, tentu akan kami tindak,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa koordinasi lintas sektor terus diperkuat, termasuk dengan Polri, TNI, dan pemerintah daerah untuk memastikan penanganan dan penegakan hukum berjalan efektif.
Dinas Kehutanan Sumbar juga memantau titik panas (hotspot) sebagai upaya deteksi dini. “Sejak Januari, terpantau sekitar 1.700 hotspot di wilayah Sumbar,” katanya.
Menurut Ferdinal, angka ini menunjukkan pentingnya penguatan pengawasan di lapangan, serta edukasi kepada masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar.
“Kami imbau masyarakat tidak membuka lahan dengan api, karena kondisi kemarau saat ini sangat rentan memicu kebakaran besar,” pungkasnya.