Dekat dengan Kolonial
Tidak seperti kebanyakan media pada masa itu yang menentang pemerintah kolonial, Oetoesan Melajoe justru dikenal cukup dekat dengan Belanda. Hal ini terlihat jelas dari mottonya:
“Oentoek kemadjoean kepandaian ilmu pengetahoean peroesahaan tanah dan perniagaan, tegoehlah setia persaoedaraan anak negeri dengan orang Wolanda.”
(Untuk kemajuan kepandaian ilmu pengetahuan perusahaan tanah dan perniagaan, teguhlah setia persaudaraan anak negeri dengan orang Wolanda/Belanda).
Pendekatan ini membuat Oetoesan Melajoe unik dari media-media lain pada saat itu. Ia tidak serta-merta menjadi alat perlawanan fisik, melainkan perlawanan wacana, khususnya dalam mempertahankan budaya lokal yang saat itu mulai tergeser oleh arus modernisasi dan reformasi Islam.
Mulai Meredup dan Berakhir Tragis
Kiprah Oetoesan Melajoe perlahan menurun seiring dengan konflik yang tak kunjung selesai. Koran ini tidak lagi terbit harian dan mulai kehilangan arah. Tahun 1922 menjadi titik balik ketika namanya diubah menjadi Oetoesan Melajoe – Perobahan.
Format cetaknya pun dipangkas dari empat menjadi dua halaman. Bahkan, Datuk Sutan Maharadja harus melepaskan jabatannya sebagai kepala redaksi, digantikan oleh Abdoel Moeis, salah satu tokoh penting pergerakan nasional Indonesia.
Meski akhirnya tenggelam tanpa kejelasan, jejak Oetoesan Melajoe tetap tercatat dalam sejarah pers nasional. Media ini tidak hanya menjadi ruang diskusi budaya, tetapi juga simbol awal kesadaran literasi dan komunikasi masyarakat pribumi.
Kontribusinya terhadap kebangkitan masyarakat Melayu dan dunia pers Indonesia tetap relevan untuk dikenang. Bagi Minangkabau, Oetoesan Melajoe bukan sekadar surat kabar, ia adalah suara zaman.