Pengabaian terhadap Rona Lingkungan dan Kelompok Marginal
Koalisi menilai kajian rona awal lingkungan yang disusun PT. SPS bersifat tidak menyeluruh dan cenderung abai terhadap wilayah terdampak seperti pesisir dan laut.
Lebih parahnya, dokumen AMDAL tidak menyebut sumber material pembangunan jalan sepanjang 130 km, yang tentunya akan menimbulkan dampak besar terhadap bentang alam, habitat, dan kualitas hidup masyarakat.
“Pembangunan jalan ini akan melibatkan ratusan kendaraan berat. Dampaknya adalah degradasi habitat, emisi tinggi, potensi longsor, dan konflik lahan namun hal ini sama sekali tidak dianalisis,” ucap Rifai.
Tidak hanya itu, tidak ada satupun data primer dalam AMDAL mengenai keanekaragaman hayati maupun keberadaan satwa endemik di lokasi rencana usaha. Informasi yang ada hanya berupa data sekunder, bahkan sebagian bersumber dari Pulau Siberut, bukan Sipora.
Dalam hal sosial, AMDAL juga gagal menggambarkan potensi dampak terhadap kelompok marginal, seperti perempuan pembudidaya pangan lokal (toek). Pendapatan mereka terancam akibat rusaknya daerah tangkapan air dan pencemaran sungai.
“Kelompok ini tidak akan direkrut sebagai tenaga kerja di perusahaan, tapi justru akan menanggung beban dampaknya. Ini bentuk pengabaian terhadap keberlanjutan ekonomi lokal,” kata Rifai.
Ketiadaan Rencana Mitigasi Bencana di Kawasan Rawan
Salah satu aspek paling mengkhawatirkan adalah absennya kajian kebencanaan dalam dokumen AMDAL. Padahal, Pulau Sipora dikenal sebagai kawasan rawan gempa, tsunami, longsor, dan banjir. Sepanjang tahun 2024, terjadi 29 kejadian bencana di Sipora, termasuk gempa, banjir, hingga abrasi.
“Penebangan hutan akan memperparah dampak bencana, karena hilangnya vegetasi penahan longsor dan penyerap air. Di saat bencana terjadi, pasokan kayu lokal untuk rekonstruksi pun akan sulit didapat,” Kata Tommy Adam, perwakilan koalisi dari Walhi Sumbar.