Kabarminang – Kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pariaman merekrut tenaga outsourcing mandiri sejak 1 Juni 2025 memicu sorotan tajam dari berbagai pihak. Alih-alih menyerap tenaga honorer yang gagal diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), DPRD justru membuka formasi baru, termasuk ajudan untuk wakil ketua dewan—posisi yang sebelumnya tidak pernah ada. Langkah ini dianggap tidak berpihak pada tenaga honorer yang terdampak kebijakan efisiensi pegawai.
Sejumlah honorer mengaku kecewa karena tidak mendapatkan kesempatan mengikuti seleksi outsourcing, padahal sebelumnya dijanjikan akan diprioritaskan. Ironisnya, posisi baru seperti ajudan dan pramu pimpinan justru diisi oleh tenaga baru yang disebut sebagai orang kepercayaan pimpinan dewan. Hal ini memunculkan anggapan bahwa skema outsourcing hanya formalitas, tanpa komitmen terhadap nasib tenaga kerja lama.
Sekretaris DPRD Kota Pariaman, Indra Sakti, membantah tudingan bahwa perekrutan dilakukan semena-mena. Ia menyatakan bahwa seluruh tenaga outsourcing dipilih berdasarkan kebutuhan aktual lembaga dan prosesnya sudah sesuai ketentuan. Menurutnya, kebutuhan akan ajudan dan sopir muncul dari keperluan pimpinan dewan dalam menunjang kegiatan harian, sehingga posisi tersebut diisi oleh orang yang dipercaya.
“Tenaga outsourcing diperuntukkan untuk sopir, petugas kebersihan, dan pramusaji. Namun sesuai kebutuhan, ketua dan wakil ketua dewan juga membutuhkan ajudan yang bersifat personal, sehingga kami menyesuaikan dengan kondisi lapangan,” ujar Indra Sakti saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu, ditulis Sabtu (14/6).
Meski begitu, Indra mengakui bahwa terdapat sekitar empat hingga enam orang honorer yang tidak diperpanjang masa kerjanya karena tidak memenuhi kualifikasi. Namun ia tidak memberikan penjelasan rinci soal indikator kualifikasi yang dimaksud. Honorer yang diberhentikan tetap menerima honor hingga akhir Mei 2025 sebelum kontrak outsourcing mulai berjalan efektif per 1 Juni.
Salah satu mantan honorer yang enggan disebutkan namanya menyampaikan kekecewaannya karena merasa diabaikan. Ia mengungkapkan bahwa sejak awal dijanjikan masuk PPPK, namun batal tanpa kejelasan. Harapan terakhir untuk menjadi tenaga outsourcing pun pupus karena tidak mendapat informasi atau panggilan seleksi.
“Sudah tidak lolos PPPK, kami masih berharap bisa masuk sebagai outsourcing. Tapi malah yang direkrut orang baru, bukan kami yang sudah bertahun-tahun bekerja,” ujarnya dengan nada kecewa.
Ia menambahkan bahwa keterlambatan pembayaran honor selama dua bulan juga membuat para honorer semakin terpuruk secara finansial.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pimpinan DPRD Kota Pariaman mengenai urgensi pembentukan posisi ajudan wakil ketua dewan yang dianggap hanya menambah beban anggaran. Di sisi lain, kebijakan ini dinilai bertolak belakang dengan semangat efisiensi dan reformasi birokrasi yang sedang didorong pemerintah pusat.