Anita juga menyinggung kondisi pendidikan seni patung di Sumbar. Jurusan patung di SMKN 4 Padang, tempat ayahnya dulu belajar, telah ditiadakan.
“Kami ingin masyarakat tahu bahwa kita punya tokoh-tokoh besar. Jangan sampai sejarah ini hilang,” tuturnya.
Pameran itu tidak hanya menampilkan karya Arby Samah, tetapi juga mempertemukan karya para pematung kontemporer dari berbagai latar budaya. Di antara mereka, hadir Christina Quisumbing Ramilo (Filipina), Rosli Dzakaria (Malaysia), Jorg Van Daele (Belgia), Masahito Iwano (Jepang), dan Laxman Bhujel (Nepal).
Kurator pameran, Ali Umar, menyebut Arby Samah sebagai “penyaksi zaman” dan “penanda arah” dalam sejarah seni rupa Indonesia.
“Karya beliau bukan sekadar bentuk, tapi refleksi sosial, spiritual, dan keberanian. Pameran ini menampilkan fase-fase penting dari perjalanan kreatif beliau, dari karya awal hingga karya kontemplatif di usia senja,” katanya.
Ali berharap pameran itu menjadi momentum lintas generasi untuk merayakan nilai, bukan sekadar objek.
“Kita sedang mengunjungi lanskap batin seorang manusia yang tak pernah berhenti menyimak zaman dengan empati dan kritik,” ujarnya.
Sementara itu, Plt. Kepala UPTD Taman Budaya Sumatera Barat, Zulkifli, menegaskan bahwa peringatan itu juga menjadi panggilan untuk menghidupkan kembali semangat Arby Samah dalam membangun ruang kreatif yang terbuka dan progresif.