Namun, pada 1948, menjelang Agresi Militer Belanda II, gedung ini mengalami nasib tragis. Sebagai bagian dari taktik bumi hangus, gedung ini bersama sejumlah bangunan penting lainnya di Bukittinggi dihancurkan untuk mencegah jatuhnya ke tangan Belanda. Warga Bukittinggi pun diimbau untuk mengungsi keluar kota guna menghindari dampak serangan.
Renovasi dan Perubahan Fungsi
Setelah situasi politik kembali stabil, pada tahun 1961, Gubernur Sumatera Barat Kaharudin Datuk Rangkayo Basa menginisiasi renovasi gedung ini. Bangunan yang baru kemudian diberi nama Gedung Negara Tri Arga, merujuk pada tiga gunung yang mengelilingi Bukittinggi: Gunung Singgalang, Gunung Marapi, dan Gunung Sago.
Seiring berjalannya waktu, gedung ini juga menjadi tempat sejumlah acara penting, termasuk pengukuhan gelar Bundo Kandung Agung kepada Hartini Soekarno pada 1965. Gelar tersebut diberikan sebagai bagian dari upaya membangun kembali hubungan antara Sumatera Barat dan pemerintahan pusat setelah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Fungsi dan Keindahan Arsitektur Saat Ini
Kini, Istana Bung Hatta berfungsi sebagai tempat seminar, lokakarya, pertemuan kenegaraan, serta sebagai rumah tamu negara yang berkunjung ke Bukittinggi. Bangunan ini berdiri di atas lahan seluas 12.425 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 3.672 meter persegi. Bangunan utama mencakup ruang tamu, ruang rapat, serta 12 kamar yang dahulu digunakan untuk menjamu tamu negara.
Keunikan arsitekturnya terlihat dari koridor depan yang disangga oleh pilar-pilar berbentuk silinder. Di dalam kompleks ini, terdapat dua patung Bung Hatta, satu berupa patung separuh badan di bagian depan dan satu patung utuh setinggi dua meter di sisi samping gedung.