– Terbit Rutin dan Didukung oleh Iklan
Berbeda dari media pada umumnya, Soenting Melajoe terbit lebih sering, yakni seminggu sekali. Sementara Oetoesan Melajoe, surat kabar induknya, hanya terbit setiap tiga minggu sekali. Penerbitan Soenting Melajoe ditangani oleh percetakan Snelpersdrukkerij Orang Alam Minang Kabau milik Sutan Maharaja.
Waktu terbitnya mengalami beberapa kali perubahan, dari Sabtu ke Kamis, lalu Jumat, dan kembali ke Kamis tanpa penjelasan resmi. Untuk mendukung biaya operasional, surat kabar ini membuka ruang iklan dengan tarif mulai dari 5 sen per kata. Mayoritas pengiklan berasal dari sektor tekstil dan batik, baik lokal maupun dari Yogyakarta.
– Harga Langganan yang Terjangkau
Pada awal penerbitan, tarif langganan ditetapkan sebesar f.1,80 per tahun untuk wilayah Hindia Belanda dan f.2,50 untuk luar negeri. Namun, seiring melonjaknya biaya produksi, sistem langganan diubah menjadi bulanan pada 1914, dengan tarif f.0,25 per bulan.
Meskipun perubahan harga dilakukan, antusiasme pembaca tidak surut. Iklan tetap ramai dan kolom opini serta artikel perempuan terus mengalir dari berbagai daerah.
– Jangkauan Luas hingga Luar Negeri
Soenting Melajoe tidak hanya dikenal di Padang atau Minangkabau. Sirkulasinya menjangkau berbagai wilayah di Sumatra hingga ke luar negeri, termasuk Johor dan Mesir. Hal ini terbukti dari kontribusi tulisan-tulisan yang rutin datang dari para pembaca di wilayah tersebut.
Cakupan yang luas ini membuktikan bahwa Soenting Melajoe telah menjadi medium penting bagi perempuan untuk saling terhubung, berbagi pengalaman, dan memperkuat solidaritas lintas batas geografis.
– Berhenti terbit
Meskipun populer selama satu dekade, Soenting Melajoe mengalami kesulitan pada 1921 karena terikat pada dukungan Sutan Maharaja dan surat kabar lainnya. Pada Januari 1921, Roehana memutuskan keluar karena harus mengajar di Medan dan Sutan Maharaja menunjuk putrinya, Retno Tenoen sebagai editor baru. Namun, pada akhirnya, Soenting Melajoe berhenti terbit pada 28 Januari 1921.