Kondisi itu, kata Ike, membuat aktivitas ekonomi di sejumlah nagari penghasil gambir ikut melambat. Ia menyebut bahwa hingga kini belum ada kepastian kapan harga akan kembali stabil. Ia memperkirakan harga masih akan tetap rendah hingga pekan depan.
Sekretaris Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Sumbar, Ferdinal Asmin, membenarkan bahwa anjloknya harga gambir itu berkaitan dengan situasi global, terutama ketegangan di wilayah Asia Selatan.
Meski demikian, menurut Ferdinal, produksi gambir di Sumbar justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS, pada 2017 produksinya hanya 6.157 ton per tahun dengan luas lahan mencapai 27.758 hektare, pada 2018 produksinya 7.574 ton per tahun dengan luas lahan 29.433 hektare, pada 2019 produksinya 7.582 ton per tahun dengan luas lahan 28.016 hektare, pada 2020 produksinya 8.687 ton per tahun dengan luas lahan 26.826 hektare. Pada 2021 produksinya naik siginifikan, yaitu 13.970 ton dengan luas lahan 28.487 hektare, lalu meningkat pada 2022 menjadi 13.983 ton dengan luas lahan 28.497 hektare.
“Sekitar 85 persen produksi gambir nasional berasal dari Sumbar,” ucapnya.
Pemerintah, kata Ferdinal, tengah berdiskusi dengan para eksportir untuk menjajaki pasar baru di luar India. Namun, sejauh ini, katanya, India masih menjadi satu-satunya negara yang menyerap gambir Sumbar dalam skala besar.
Ia mengimbau petani tetap menjaga kualitas produksi gambir meski di tengah kondisi sulit.
“Kita harapkan petani tetap memproduksi gambir terbaik, tidak dicampur-campur, agar tetap layak ekspor,” katanya.