Kabarminang – Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) mengadukan gubernur ke Ombudsman Sumbar atas dugaan maladministrasi dalam penerbitan rekomendasi perizinan PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai.
Laporan tersebut disampaikan secara resmi oleh koalisi yang terdiri atas Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Barat, Lembaga Bantuan Hukum Padang, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Sumatera barat, Perkumbulan Qbar, Komite Independen Pemantau Pemilu Sumbar, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Forum Mahasiswa Mentawai, Jemari Sakato, advokat Samratul Fuad pada Selasa (24/6).
Perwakilan koalisi, Tommy Adam, mengatakan bahwa Gubernur Sumbar telah menerbitkan Rekomendasi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT SPS melalui surat bernomor 522.1/81/Periz/BKM&PPT/IV-2016 tanggal 25 April 2016. Ia menyebut rekomendasi tersebut menjadi dasar persetujuan prinsip dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Menurut Tommy, penerbitan rekomendasi itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena tidak melibatkan masyarakat lokal serta mengabaikan status Pulau Sipora sebagai pulau kecil di bawah perlindungan UU Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Pulau Sipora hanya seluas 615,18 km2 dan tergolong pulau kecil. Pemanfaatan kawasan di wilayah ini seharusnya memprioritaskan konservasi, pendidikan, perikanan lestari, dan kearifan lokal. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,” ujarnya.
Koalisi juga menyoroti sejumlah cacat serius dalam dokumen amdal PT SPS, di antaranya ketidaksesuaian klasifikasi usaha dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, perbedaan lokasi koordinat antara izin dan fakta di lapangan, serta studi dampak lingkungan yang tidak komprehensif.
Tommy juga menyebut temuan lainnya, yang meliputi tidak adanya informasi sumber material untuk pembangunan jalan sepanjang 130 km; tidak dianalisisnya dampak pada kelompok marginal, seperti ibu rumah tangga pembudidaya pangan lokal (toek); ketiadaan data primer mengenai keberadaan satwa endemik dan wilayah terdampak; proses penyusunan amdal yang minim partisipasi masyarakat; ketiadaan kajian kebencanaan di wilayah yang rawan gempa dan tsunami.
“Hal-hal tersebut menimbulkan keraguan serius terhadap legalitas perizinan PBPH PT SPS dan berpotensi merugikan masyarakat lokal serta lingkungan hidup di Sipora,” ucap Tommy.