Kabarminang – Jalur kereta api Muaro Sijunjung–Pekanbaru sepanjang 220 kilometer pernah menjadi proyek ambisius penjajahan Jepang di Indonesia. Dibangun pada masa pendudukan 1942–1945, jalur ini dirancang untuk mengangkut batubara dari Ombilin, Sumatera Barat, menuju pantai timur Sumatera melalui Sungai Siak, Riau. Namun, di balik proyek tersebut tersimpan kisah kelam penuh penderitaan para pekerja paksa atau romusha.
Awalnya, pembangunan rel kereta api di Sumatera merupakan gagasan kolonial Belanda untuk memperlancar transportasi hasil perkebunan dan tambang. Namun, proyek besar itu baru benar-benar digarap serius oleh Jepang. Bagi Negeri Sakura, jalur ini memiliki nilai strategis: mendukung logistik perang sekaligus mempercepat mobilisasi pasukan.
Pengerjaan jalur Pekanbaru–Muaro dilakukan dengan sistem kerja paksa. Ribuan romusha dikerahkan, baik dari penduduk lokal maupun pekerja paksa yang dibawa dari Jawa. Mereka bekerja siang dan malam, dengan bekal makanan seadanya. Siksaan dan kerja berat menjadi keseharian mereka di bawah pengawasan ketat mandor-mandor Jepang dan Korea.
Kondisi romusha sangat mengenaskan. Janji upah yang sempat disampaikan Jepang perlahan sirna. Hak-hak pekerja dipangkas, jatah makanan semakin dikurangi, hingga akhirnya mereka dipaksa bekerja tanpa bayaran dan tanpa bekal gizi layak. Makanan yang tersedia hanyalah rebusan sayur encer dan air.
Untuk bertahan hidup, para romusha sering berburu hasil hutan. Mereka memakan apa saja yang bisa ditangkap—pisang, ketela, umbi-umbian, talas hutan, hingga daging tikus, ular, dan babi hutan. Ikan dari sungai dan rawa pun menjadi pengganjal perut. Semua dimasak dengan cara sederhana, seringkali tanpa bumbu, bahkan tanpa garam.
Henk Hovinga dalam bukunya Op Dood Spoor menuliskan bahwa makan bagi romusha bukan lagi soal kenyang, melainkan soal bertahan hidup. Mereka berkongsi dua hingga tiga orang untuk merebus atau membakar hasil buruan di sela waktu kerja, meski seringkali dilakukan di tengah kegelapan malam.
Dikutip Kabarminang pada Senin (18/8), disebutkan bahwa proyek ambisius itu pun menelan korban jiwa yang sangat besar. Diperkirakan 80 ribu romusha tewas akibat kelaparan, penyakit, siksaan, dan kelelahan sepanjang pembangunan jalur kereta api Pekanbaru–Muaro. Angka ini menjadikan proyek tersebut sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di Sumatera pada masa pendudukan Jepang.
Meski jalur kereta api Pekanbaru–Muaro akhirnya rampung pada tahun 1945, proyek ini segera terbengkalai. Jepang menyerah kepada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Jalur yang dibangun dengan darah dan air mata itu pun ditinggalkan begitu saja.
Kini, sisa-sisa jalur kereta api Pekanbaru–Muaro masih dapat ditemukan di beberapa titik, menjadi saksi bisu penderitaan ribuan romusha. Jalur ini bukan sekadar infrastruktur peninggalan kolonial, tetapi juga monumen penderitaan yang mengingatkan betapa mahalnya harga kemerdekaan yang kini dinikmati bangsa Indonesia.